Momen Emas Penentu Nyawa: Mengapa Literasi Pertolongan Pertama Sangat Penting di Arena Olahraga?
Literasi Pertolongan Pertama krusial di arena olahraga. Cedera serius hingga henti jantung bisa terjadi. Pelatihan FIK UI bekali komunitas sepak bola hadapi gawat darurat.

Setiap kali peluit pertandingan olahraga ditiup oleh wasit, semangat dan keceriaan mengalir di lapangan. Namun, di balik euforia tersebut, tersembunyi risiko-risiko yang kerap diabaikan. Cedera serius, bahkan henti jantung mendadak, dapat terjadi kapan saja tanpa tanda-tanda awal yang jelas, mengancam keselamatan para pegiat olahraga.
Ironisnya, seringkali bukan keterlambatan ambulans atau kurangnya fasilitas medis yang menjadi penyebab utama kehilangan nyawa, melainkan ketidaktahuan orang-orang terdekat tentang bagaimana memberikan pertolongan pertama yang tepat. Fenomena ini menunjukkan bahwa literasi pertolongan pertama bukan sekadar pengetahuan tambahan, melainkan kebutuhan mendesak yang menyentuh langsung jantung kehidupan bermasyarakat.
Berangkat dari keprihatinan ini, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) mengambil langkah nyata melalui Klaster Riset Acute & Critical Care. Mereka membekali komunitas olahraga dengan pengetahuan dan keterampilan dasar dalam menghadapi situasi gawat darurat, seperti yang dilakukan pada 20 Juli 2025 di Lapangan Kerasakti, Tangerang Selatan, dengan menggandeng ABCC Football Community (ABCC FC).
Momen Emas Penyelamat Nyawa
Ketua Klaster Riset Acute & Critical Care FIK UI, Dr. Masfuri, SKp, MN, menjelaskan urgensi kegiatan ini. Menurutnya, cedera otot dan tulang hingga kasus henti jantung mendadak adalah risiko nyata dalam olahraga, termasuk sepak bola. Dengan tindakan yang tepat dalam “momen emas” sekitar lima hingga sepuluh menit pertama, peluang untuk menyelamatkan nyawa bisa meningkat drastis. Hal ini menegaskan bahwa kesiapsiagaan bukan hanya tanggung jawab medis, tetapi bisa dimiliki siapa saja yang teredukasi.
Cerita yang disampaikan oleh Ketua ABCC FC, Willyardo Napitupulu, memperkuat urgensi tersebut. Ia mengenang sebuah insiden saat seorang rekannya tersikut di bagian dada dan langsung mengalami nyeri hebat, hingga kesulitan bernapas. Seluruh rekan tim panik karena tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian itu meninggalkan perasaan waswas yang akhirnya memicu inisiatif untuk menghadirkan pelatihan literasi pertolongan pertama ini.
Dampak dari kegiatan ini terasa nyata. Sebanyak 39 peserta mengikuti pelatihan dengan antusiasme tinggi, mencakup penanganan cedera ringan, teknik mengatasi tersedak, hingga praktik resusitasi jantung paru (RJP). Banyak peserta mengaku baru kali ini mendapatkan penjelasan konkret tentang langkah-langkah pertolongan pertama yang benar. Beberapa bahkan mulai menyimpan nomor ambulans dan rumah sakit terdekat di ponsel mereka, serta mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan dan konseling gratis.
Kesadaran baru pun tumbuh mengenai pentingnya menjaga pola makan dan memeriksakan kesehatan secara berkala. Salah satu peserta mengaku kaget saat mengetahui kadar asam urat dan kolesterolnya tinggi, padahal selama ini ia merasa sehat. Penyelenggaraan yang rapi dan informatif turut mendapat apresiasi, dan para peserta berharap pelatihan seperti ini dapat menjangkau lebih banyak komunitas.
Membangun Budaya Tanggap Darurat
Pada akhirnya, semua pihak berharap semakin kuatnya terbentuk budaya tanggap darurat di tengah komunitas, tidak hanya dalam olahraga, tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Kecelakaan dan kondisi gawat darurat bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, baik di lapangan sepak bola, di tempat kerja, bahkan di rumah. Ketika detik-detik krusial itu datang, nyawa seseorang bisa bergantung pada seberapa sigap orang-orang di sekitarnya mengambil tindakan.
Pelatihan serupa ini memberikan contoh bahwa upaya peningkatan literasi kesehatan tidak harus selalu berskala besar atau terpusat di rumah sakit. Justru dengan menyasar komunitas-komunitas kecil dan rutin, dampaknya bisa lebih terasa dan mengakar. Komunitas olahraga, yang sering dianggap hanya sebagai ruang rekreasi, ternyata menyimpan potensi besar sebagai agen perubahan dalam membentuk masyarakat yang lebih peduli, sigap, dan sehat.
Momen pelatihan ini bukan akhir dari perjalanan, tetapi awal dari kesadaran baru. Kesadaran bahwa menjaga keselamatan bukan hanya tugas satu orang, melainkan kewajiban bersama. Bahwa di balik setiap semangat yang menggelora di lapangan, harus ada kesiapan menghadapi kemungkinan terburuk. Karena dalam dunia yang tidak pasti ini, menjadi penolong bukan pilihan, melainkan peran yang suatu hari bisa menyelamatkan kehidupan seseorang.
Kehadiran perguruan tinggi dengan kompetensi terkait hadir sebagai penghubung antara ilmu dan keberdayaan komunitas. Mereka menegaskan bahwa siapa pun, di mana pun, bisa menjadi penolong. Tidak harus mengenakan seragam medis atau bertugas di rumah sakit. Cukup dengan pengetahuan dasar dan keberanian untuk bertindak. Karena dalam setiap detik yang berharga, pengetahuan dan kesiapan bisa menjadi pembeda antara kehilangan dan harapan yang kembali hidup.