Mulai 1 Agustus 2025, DJP Papua Perkuat Aturan Pajak Aset Kripto dengan Tiga Regulasi Baru
DJP Papua perkuat peraturan pajak aset kripto dengan tiga regulasi baru mulai 1 Agustus 2025. Apa saja perubahan dan dampaknya bagi transaksi aset digital?

Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Papua, Papua Barat, dan Maluku, mengambil langkah strategis untuk memperkuat peraturan pajak aset kripto di wilayah Bumi Cenderawasih. Kebijakan ini diwujudkan melalui penerbitan tiga regulasi baru yang akan mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 2025. Peraturan ini diharapkan mampu menyesuaikan tata kelola perpajakan dengan dinamika perkembangan teknologi dan status hukum aset digital.
Kepala Kanwil DJP Papua, Papua Barat, dan Maluku (Papabrama), Dudi Efendi Karnawidjaya, menyampaikan informasi penting ini di Jayapura pada Jumat (8/8). Menurut Dudi, regulasi yang baru dikeluarkan ini bukan merupakan jenis pajak yang baru, melainkan sebuah penyesuaian. Penyesuaian ini dilakukan untuk mengakomodasi perkembangan pesat teknologi serta perubahan status hukum aset kripto di Indonesia, memastikan kerangka perpajakan yang relevan dan adil.
Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, telah secara resmi menerbitkan ketiga peraturan baru tersebut sebagai upaya memperkuat tata kelola perpajakan transaksi aset kripto. Langkah ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menciptakan ekosistem keuangan digital yang lebih terstruktur dan transparan. Implementasi regulasi ini diharapkan dapat memberikan kejelasan bagi para pelaku pasar aset kripto di Indonesia.
Detail Regulasi Perpajakan Aset Kripto
Tiga regulasi baru yang diterbitkan oleh pemerintah untuk memperkuat kerangka perpajakan aset kripto adalah sebagai berikut:
- PMK Nomor 50 Tahun 2025: Mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.
- PMK Nomor 53 Tahun 2025: Merupakan perubahan atas PMK 11/2025, yang berkaitan dengan ketentuan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak dan besaran tertentu PPN.
- PMK Nomor 54 Tahun 2025: Perubahan ketiga atas PMK 81/2024, yang mengatur ketentuan perpajakan dalam pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan.
Regulasi ini menegaskan bahwa pemerintah tidak memperkenalkan jenis pajak baru. Sebaliknya, peraturan ini merupakan respons terhadap evolusi aset kripto di pasar digital. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa transaksi aset digital dapat diatur secara efektif sesuai dengan prinsip perpajakan yang berlaku.
Perubahan Status dan Implikasi Pajak Aset Kripto
Perubahan signifikan dalam perpajakan aset kripto ini mengikuti terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Undang-undang tersebut secara fundamental mengubah status aset kripto dari sebelumnya hanya dianggap sebagai komoditas menjadi aset keuangan digital. Dengan status baru ini, aset kripto kini setara dengan surat berharga dalam konteks regulasi keuangan di Indonesia.
Implikasi langsung dari perubahan status ini adalah penyerahan aset kripto tidak lagi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, transaksi tersebut tetap dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final Pasal 22. Besaran tarif PPh final ini bervariasi, tergantung pada jenis penyelenggara transaksi dan domisili platform yang digunakan oleh pengguna. Hal ini menciptakan diferensiasi dalam beban pajak yang harus ditanggung.
Untuk transaksi yang dilakukan melalui penyelenggara perdagangan dalam negeri (PPMSE DN), tarif PPh final yang dikenakan adalah 0,21 persen dari nilai transaksi. Sementara itu, transaksi yang melibatkan platform luar negeri (PPMSE LN) akan dikenakan tarif yang lebih tinggi, yaitu sebesar 1 persen. Selain itu, jasa penunjang kripto, seperti penyediaan sarana elektronik dan jasa verifikasi penambang (mining), juga akan dikenakan pajak sesuai ketentuan yang berlaku. Regulasi ini juga mencakup penunjukan platform luar negeri sebagai pemungut PPh Pasal 22, memastikan kepatuhan pajak yang lebih luas.