Ombudsman NTT Soroti Pelayanan Tata Niaga Sapi: Kuota, Rekomendasi, dan Berat Sapi Jadi Masalah
Ombudsman NTT menemukan sejumlah masalah dalam tata niaga sapi, termasuk kuota yang tidak proporsional, dugaan jual beli rekomendasi, dan standar berat sapi yang sulit dipenuhi, sehingga berdampak pada peternak dan pengusaha.

Kupang, 17 Mei 2024 - Ombudsman Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyoroti kualitas pelayanan publik dalam tata niaga sapi dari NTT ke daerah lain. Temuan ini mengemuka setelah Ombudsman melakukan investigasi dan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk Himpunan Pengusaha Peternak Sapi dan Kerbau (HP2SK) NTT. Berbagai permasalahan yang ditemukan berpotensi merugikan peternak dan pengusaha sapi di NTT.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi NTT, Darius Beda Daton, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengirimkan surat resmi kepada Gubernur NTT terkait temuan ini. Surat tersebut berisi rekomendasi untuk peningkatan pelayanan tata niaga sapi agar lebih transparan dan berkeadilan. "Kami sudah menyampaikan surat resmi kepada Gubernur NTT perihal koordinasi peningkatan pelayanan tata niaga sapi dari NTT," kata Darius di Kupang.
Investigasi Ombudsman mengungkap beberapa permasalahan krusial. Pertama, terdapat ketidakjelasan dalam pembagian kuota pengeluaran sapi oleh dinas peternakan kabupaten/kota. Tidak adanya formula khusus dalam pembagian kuota ini menimbulkan potensi praktik "fee", diskriminasi, dan monopoli oleh pengusaha tertentu. "Hal ini dapat menimbulkan potensi pemberian imbalan (fee), diskriminasi dan monopoli pengusaha tertentu," ujar Darius.
Permasalahan Kuota dan Rekomendasi Pengeluaran Ternak
Ombudsman menemukan dugaan praktik jual beli rekomendasi pengeluaran ternak. Beberapa dinas peternakan diduga memberikan rekomendasi kepada pengusaha tertentu yang bahkan tidak memiliki sapi. Akibatnya, pengusaha yang memiliki sapi justru kesulitan mendapatkan rekomendasi karena alasan kuota habis atau alasan lainnya. Lebih lanjut, pemegang rekomendasi yang tidak memiliki sapi kemudian menjual kuotanya kepada pengusaha lain yang juga tidak memiliki sapi, menciptakan sistem yang tidak adil dan merugikan peternak yang sebenarnya.
Selain itu, kendala dalam memenuhi standar berat hidup sapi Bali minimal 275 kg per ekor juga menjadi sorotan. Peraturan Gubernur NTT Nomor 52 Tahun 2023 tentang Pengendalian terhadap Pemasukan, Pengeluaran, dan Peredaran Ternak menetapkan standar tersebut, namun di lapangan sulit dipenuhi. "Hal tersebut menyebabkan pemohon mengajukan Rekomendasi Pengeluaran Ternak atas sapi dengan berat hidup di bawah 275 kg," jelas Darius.
Kondisi ini memaksa peternak untuk menjual sapi dengan harga yang lebih rendah atau bahkan terpaksa melalui jalur ilegal. Hal ini tentunya merugikan peternak dan berpotensi mengganggu stabilitas pasar sapi.
Rekomendasi Ombudsman untuk Pemprov NTT
Menanggapi temuan tersebut, Ombudsman NTT memberikan beberapa rekomendasi kepada Pemprov NTT. Pertama, diperlukan pengkajian ulang terhadap kriteria berat sapi antar pulau, khususnya terkait standar minimal 275 kg. Perubahan kriteria ini diharapkan dapat memudahkan peternak menjual sapi dan mencegah praktik "fee" dalam pengurusan rekomendasi.
Kedua, Pemprov NTT diminta untuk menyusun dan menetapkan standar pelayanan terkait waktu penerbitan keputusan Gubernur mengenai alokasi pengeluaran ternak. Standar waktu ini akan menjadi pedoman dalam penyampaian ketersediaan dan kebutuhan alokasi pengeluaran ternak dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi.
Ketiga, Pemprov NTT perlu berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam pembagian kuota pengeluaran ternak. Proses pembagian kuota harus melibatkan kesepakatan antara kepala dinas peternakan kota/kabupaten, tim teknis di dinas peternakan, dan pengusaha/himpunan pengusaha yang terlibat dalam tata niaga sapi. Hal ini bertujuan untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan akuntabel.
Dengan adanya rekomendasi ini, diharapkan tata niaga sapi di NTT dapat berjalan lebih baik, menguntungkan peternak, dan mencegah praktik-praktik yang merugikan.
Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses tata niaga sapi, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan peternak dan pengusaha di NTT. Perbaikan sistem ini juga akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian daerah.