Pakar Hukum Soroti Potensi Hukuman Berlebihan dalam Gugatan PT Timah ke MK
Gugatan PT Timah ke MK berpotensi menimbulkan hukuman berlebihan terhadap terdakwa korupsi timah, dengan pakar hukum menyoroti potensi kerugian negara Rp300 triliun yang dinilai tidak sepenuhnya akurat.

Jakarta, 15 Maret 2025 - Sebuah gugatan yang diajukan PT Timah Tbk. ke Mahkamah Konstitusi (MK) telah menarik perhatian pakar hukum pidana. Chairul Huda, pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), menyoroti potensi hukuman yang berlebihan atau overpenalization terhadap para terdakwa dalam kasus korupsi tata niaga timah. Gugatan ini berpotensi menggandakan hukuman bagi mereka yang memperkaya diri sendiri, dengan menambahkan pidana yang dijatuhkan kepada pihak lain yang juga diuntungkan dari korupsi tersebut.
Chairul Huda mempertanyakan angka kerugian negara sebesar Rp300 triliun yang diajukan dalam kasus ini. Ia berpendapat bahwa angka tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kerugian riil, melainkan lebih merupakan potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh praktik eksplorasi dan eksploitasi timah ilegal. Menurutnya, PT Timah sendirilah yang paling banyak menikmati keuntungan dari praktik tersebut.
Oleh karena itu, Chairul Huda berpendapat bahwa PT Timah seharusnya dikenai sanksi, bukan melalui Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melainkan melalui UU yang lebih spesifik, seperti UU Minerba atau UU Lingkungan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kerugian utama dalam kasus ini bukanlah kerugian keuangan negara secara langsung, melainkan potensi kerugian lingkungan yang signifikan.
Gugatan PT Timah dan Pasal 18 Ayat (1) Huruf b UU Tipikor
Gugatan PT Timah ke MK diajukan pada 3 Maret 2025. Mereka meminta perubahan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang pembayaran uang pengganti. PT Timah menilai pasal tersebut tidak relevan dalam konteks perkara korupsi timah yang melibatkan kerugian lingkungan.
Pasal yang berlaku saat ini mengatur pembayaran uang pengganti sejumlah harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. PT Timah mengusulkan perubahan agar pembayaran uang pengganti disesuaikan dengan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara, termasuk kerugian lingkungan.
Gugatan ini terkait dengan kasus timah ilegal yang melibatkan Harvey Moeis dan sembilan terdakwa lainnya, yang saat ini sedang dalam proses banding. Dalam putusan banding, kerugian negara ditetapkan sebesar Rp300 triliun, yang terdiri dari kerugian lingkungan (Rp271 triliun) dan kerugian lainnya.
PT Timah berpendapat bahwa penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor tidak adil karena tidak menghukum para terdakwa untuk mengganti kerugian lingkungan sebesar Rp271 triliun.
Analisis Potensi Overpenalization
Pakar hukum pidana Chairul Huda menekankan potensi overpenalization jika gugatan PT Timah dikabulkan. Sistem perhitungan kerugian yang diusulkan PT Timah berpotensi menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada para terdakwa. Hal ini karena perhitungan kerugian negara yang mencakup potensi kerusakan lingkungan, yang menurut Chairul Huda, belum tentu sepenuhnya akurat dan dapat menimbulkan ketidakadilan.
Ia menyarankan agar MK mempertimbangkan secara cermat dampak dari perubahan pasal tersebut terhadap penegakan hukum dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Perlu kajian mendalam untuk memastikan bahwa setiap hukuman yang dijatuhkan sebanding dengan kesalahan yang dilakukan dan tidak menimbulkan ketidakadilan.
Lebih lanjut, Chairul Huda menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek lingkungan dalam kasus korupsi sumber daya alam. Namun, ia juga mengingatkan agar perhitungan kerugian lingkungan didasarkan pada data dan metodologi yang valid dan terukur, bukan hanya potensi kerugian yang bersifat spekulatif.
Kesimpulan
Gugatan PT Timah ke MK menimbulkan perdebatan mengenai perhitungan kerugian negara dalam kasus korupsi yang melibatkan kerusakan lingkungan. Pakar hukum menyoroti potensi hukuman berlebihan dan menyerukan agar MK mempertimbangkan secara cermat dampak dari perubahan pasal tersebut terhadap keadilan dan penegakan hukum. Perlu kehati-hatian dalam menentukan besaran hukuman agar tidak terjadi ketidakadilan terhadap para terdakwa.