Perangi Eksploitasi Seksual Anak Online di Indonesia
Polri dan kementerian terkait di Indonesia gencar memberantas kejahatan eksploitasi seksual anak online, yang melibatkan penangkapan pelaku, peningkatan literasi digital, dan regulasi baru.
Jakarta, 9 Februari 2025 - Perkembangan teknologi digital yang pesat membawa banyak manfaat, namun juga ancaman serius, termasuk eksploitasi seksual anak. Kasus-kasus eksploitasi anak yang terkait dengan konten pornografi online meningkat tajam, di mana pelaku memanfaatkan teknologi untuk memperdaya anak-anak.
Ancaman Nyata di Dunia Maya
Eksploitasi seksual anak online merujuk pada segala bentuk pelecehan seksual yang melibatkan anak di bawah umur, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang difasilitasi internet. Pelaku atau pihak ketiga seringkali mendapat keuntungan dari aktivitas ini, membuat masalah semakin kompleks. Direktorat Cyber Crime Polri berhasil menangkap 58 tersangka terkait kejahatan pornografi anak online antara Mei hingga November 2024, yang melibatkan 47 kasus. Di awal 2025, Kepolisian Metro Jakarta Raya mengungkap kasus penjualan konten pornografi anak secara online, mengamankan 689 video dan gambar. Pelaku, RYS (29), menjual konten tersebut melalui Telegram dengan harga mulai Rp10.000 hingga Rp15.000 per tiga bulan.
Kompol Roberto Pasaribu, Direktur Cyber Crime Polda Metro Jaya, menekankan anonimitas di dunia digital menjadi tantangan besar dalam mengungkap kasus pornografi anak. Oleh karena itu, Polri memperkuat sinergi dengan berbagai lembaga, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan LSM.
Peran Keluarga dan Edukasi Seksual
KemenPPPA mengapresiasi pengungkapan kasus-kasus ini dan menekankan pentingnya UU ITE dalam penanganannya. Nahar, Deputi Perlindungan Anak KemenPPPA, juga menyoroti peran krusial keluarga dalam pencegahan. Edukasi seksual yang tepat dan terbuka kepada anak sangat penting untuk meningkatkan kesadaran akan risiko pornografi dan dampak negatifnya. Orang tua didorong untuk berkomunikasi terbuka dengan anak, memantau aktivitas online mereka, dan memberikan pujian secara teratur. "Kita harus memastikan anak-anak kita aman dari ancaman ini karena dampaknya jangka panjang," ujar Nahar.
Pemerintah juga menyediakan dukungan melalui SAPA 129, memberikan bantuan emosional dan profesional bagi korban eksploitasi. Upaya perlindungan anak di ruang digital juga diperkuat dengan percepatan penyusunan Peraturan Presiden tentang Roadmap Perlindungan Anak Online yang masih dalam tahap harmonisasi. Regulasi ini penting karena penyebaran konten pornografi anak dapat berdampak negatif pada perkembangan fisik dan psikologis anak.
Langkah-langkah Pencegahan dan Perlindungan
Data Simfoni PPA mencatat 11.770 kasus kekerasan seksual anak dari total 19.626 kasus anak pada 2024. Ai Maryati Solihah, Ketua KPAI, menekankan pentingnya pemblokiran konten ilegal dan tindakan hukum tegas terhadap pelaku, termasuk penyedia dan distributor konten. KPAI juga menekankan perlunya rehabilitasi bagi korban, karena pemulihan psikologis sangat penting. Peningkatan literasi digital bagi semua lapisan masyarakat juga krusial.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana menerapkan batasan usia akses media sosial. Menteri Kominfo, Meutya Hafid, telah membentuk tim khusus untuk meninjau pembatasan usia dan regulasi lain untuk melindungi anak di ruang digital. Kominfo memprioritaskan perlindungan anak di dunia digital untuk mengurangi risiko yang dihadapi anak-anak di lanskap online yang terus berkembang.
Kesimpulan
Penanganan komprehensif dan kolaboratif antara Polri, kementerian terkait, dan masyarakat sangat penting untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan kasus eksploitasi seksual anak. Pentingnya edukasi, pengawasan orang tua, dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci dalam melindungi anak-anak Indonesia dari ancaman eksploitasi seksual online.