Praktisi Pendidikan Kritik Rencana Kemendikbudristek Kembali Terapkan Penjurusan di SMA
Rencana Kemendikbudristek untuk menerapkan kembali sistem penjurusan di SMA mendapat kritik dari praktisi pendidikan yang menilai kebijakan tersebut sebagai kemunduran dan menghambat pengembangan potensi siswa.

Tangerang, 22 April 2024 (ANTARA) - Rencana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk menerapkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA menuai kritik dari praktisi pendidikan. Dr. Masduki Asbari, praktisi pendidikan dari Universitas Insan Pembangunan Indonesia dan Ketua Yayasan Aya Sophia Indonesia, menilai kebijakan ini sebagai langkah mundur dan tidak sejalan dengan kebutuhan pendidikan masa kini.
Masduki, yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PCNU Kabupaten Tangerang, menyatakan keprihatinannya atas rencana tersebut. Menurutnya, "Ini bukan sekadar soal jurusan, tetapi soal arah pendidikan nasional. Kita ini butuh blueprint pendidikan yang dijadikan pegangan bersama, bukan setiap menteri datang dengan gagasan barunya sendiri."
Ia menekankan pentingnya pedoman jangka panjang dalam sistem pendidikan Indonesia, seperti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Pendidikan, agar tidak terjadi kebingungan dan tumpang tindih kebijakan. Setiap kebijakan, lanjutnya, harus berangkat dari identifikasi masalah yang tepat dan berfokus pada kebutuhan siswa, bukan sekadar efisiensi sistem.
Kebijakan yang Tidak Berkesinambungan
Masduki menilai perubahan kebijakan yang terlalu cepat, khususnya setelah satu tahun diterapkannya sistem peminatan, menandakan dunia pendidikan nasional tidak memiliki arah yang jelas dan berkesinambungan. Ia menganggap kebijakan pengembalian sistem penjurusan sebagai bentuk kemunduran. Pembagian yang sempit antara IPA, IPS, dan Bahasa dinilai akan menghambat eksplorasi potensi siswa di era yang menuntut pendekatan interdisipliner.
“Tantangan masa depan tidak bisa dihadapi dengan sekat-sekat disiplin ilmu yang kaku. Justru kita harus mendorong siswa mengeksplorasi lintas bidang, bukan membatasi mereka sejak SMA,” tegas Masduki.
Ia juga menyoroti alasan Kemendikbudristek yang menyatakan kebijakan ini untuk memudahkan seleksi masuk perguruan tinggi. Menurutnya, alasan tersebut tidak adil dan justru menyalahkan siswa atas masalah yang bersumber dari administrasi pendidikan dan sistem struktural guru yang belum fleksibel.
“Yang perlu kita benahi adalah kesiapan sekolah dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Jangan siswa yang dikorbankan hanya karena kita tidak siap melakukan reformasi yang sesungguhnya,” tambahnya.
Perlunya Visi yang Lebih Luas
Masduki mengajak para pembuat kebijakan untuk berpikir lebih visioner dan berpihak pada kebutuhan riil peserta didik. Ia menekankan pentingnya konsistensi, keberanian, dan kepekaan dalam merumuskan masa depan pendidikan bangsa. Sistem pendidikan, menurutnya, harus mampu mendorong siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, bukan terkungkung dalam batasan-batasan jurusan yang sempit.
Ia berharap agar Kemendikbudristek dapat mengevaluasi kembali rencana tersebut dan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap perkembangan siswa. Pendidikan, menurutnya, harus menjadi fondasi yang kuat bagi generasi mendatang untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Lebih lanjut, Masduki menyarankan agar Kemendikbudristek fokus pada peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh, termasuk peningkatan kompetensi guru, modernisasi sarana dan prasarana sekolah, serta pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan zaman. Dengan demikian, sistem pendidikan Indonesia dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas dan siap menghadapi masa depan.
Dengan demikian, perubahan sistem pendidikan haruslah berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, bukan hanya sekedar mengikuti tren atau untuk memudahkan administrasi.