Presidium PO & MLB NU Cari Sosok Ideal Ketum PBNU di Kediri
Presidium Penyelamat Organisasi dan Muktamar Luar Biasa NU menggelar diskusi di Kediri, Jawa Timur, untuk mencari sosok ideal Rais Aam dan Ketua Umum PBNU yang mampu menjaga marwah dan kehormatan NU serta membawa perubahan positif bagi organisasi.

Presidium Penyelamat Organisasi (PO) dan Muktamar Luar Biasa (MLB) Nahdlatul Ulama (NU) baru-baru ini menggelar pertemuan penting di Kediri, Jawa Timur. Pertemuan tersebut berfokus pada pencarian sosok ideal untuk mengisi posisi Rais Aam dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Diskusi dan Bahtsul Masail menjadi metode utama dalam upaya menemukan pemimpin yang tepat bagi organisasi besar ini.
Menurut Ketua Presidium PO & MLB NU, Abdussalam Shohib, atau yang akrab disapa Gus Salam, tujuan utama pertemuan ini adalah untuk menjaga marwah, kehormatan, dan nama baik NU. Ia menegaskan bahwa pengurus NU memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga hal tersebut, dan bukan sebaliknya, marwah NU yang bergantung pada pengurusnya. Pernyataan ini disampaikan dalam keterangan resmi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Gus Salam menekankan pentingnya kebanggaan terhadap NU, baik dari sisi teologis, filosofis, maupun sosiologis. Baginya, kebesaran NU tidaklah identik dengan siapapun yang menjadi pengurusnya. Para pengurus harus selalu diingatkan dan dinasihati agar senantiasa bertindak sesuai dengan garis batas penyelenggaraan dan kepemimpinan organisasi.
Lebih lanjut, Gus Salam menjelaskan peran penting ulama NU sebagai pemegang amanat Allah SWT. Mereka memiliki orientasi ashlah, yaitu untuk memajukan umat, negara, dan lingkungan. Hal ini sejalan dengan visi NU untuk selalu berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Ia juga menggambarkan sosok pemimpin ideal NU yang memiliki sifat-sifat mulia, bersifat kepemimpinan, teladan, dan ikhlas. Pemimpin ini harus mampu mewarisi kepemimpinan dan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh, Gus Salam menyinggung kepemimpinan PBNU sebelumnya, seperti Said Aqil Siroj, Hasyim Muzadi, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Ketiga tokoh tersebut, menurut Gus Salam, merupakan ulama yang terjun langsung ke lapangan, memahami realitas sosial, dan memiliki kecerdasan emosional dan sosial yang tinggi. Mereka juga dikenal karena kemampuannya membina silaturahmi antar ulama dan dekat dengan masyarakat bawah. Perbedaan pandangan dan kepentingan tidak menghalangi mereka untuk tetap merangkul, mengakomodasi, dan menghormati perbedaan.
Gus Salam membandingkan kepemimpinan masa lalu dengan kondisi saat ini. Ia menyoroti marwah NU yang kini diperbincangkan di publik melalui berbagai platform media. Menurutnya, PBNU saat ini menciptakan arus konflik yang berdampak negatif, baik internal maupun eksternal. Kinerja dan kepemimpinan PBNU dianggap memiliki banyak anomali dan inkonsistensi.
Oleh karena itu, forum diskusi publik tersebut berharap pemimpin NU selanjutnya dapat menjadi panutan bagi semua kalangan. Bagi masyarakat bawah, pemimpin tersebut diharapkan menjadi sosok yang kharismatik, teduh, dan berwibawa. Sementara bagi kalangan menengah, pemimpin yang mampu menjadi pembangkit perubahan. Sedangkan bagi kalangan atas, diharapkan menjadi inspirator dan guru bagi kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara, sekaligus penguat gerakan masyarakat madani.