Ratusan Umat Hindu-Budha di Bali Rayakan Imlek di Tanah Kilap
Ratusan umat Hindu dan Buddha, termasuk etnis Tionghoa, merayakan Imlek di Griya Kongco Dwipayana (Tanah Kilap), Bali, dengan persembahyangan dan pertunjukan barongsai, mencerminkan akulturasi budaya yang unik.

Perayaan Imlek di Tanah Kilap, Bali: Perpaduan Budaya yang Harmonis
Pada perayaan Tahun Baru Imlek 2576, ratusan umat Hindu dan Buddha, baik dari etnis Tionghoa maupun non-Tionghoa, berkumpul di Griya Kongco Dwipayana, yang lebih dikenal sebagai Tanah Kilap di Denpasar, Bali. Mereka mengikuti persembahyangan yang khidmat, sebuah pemandangan unik yang menunjukkan indahnya keragaman dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Sejarah Akulturasi yang Kaya
Menurut Ida Bagus Adnyana, pemucuk Griya Kongco Dwipayana, tradisi perayaan Imlek bersama ini sudah berlangsung selama kurang lebih 500 tahun. Hal ini berawal dari penemuan batu bertulis huruf China di depan Pura Candi Narmada. Batu tersebut dipercaya berasal dari masa Dinasti Qing, menjadi bukti awal interaksi dan percampuran budaya yang berlangsung lama.
Suasana Perayaan yang Khidmat dan Meriah
Di Griya Kongco Dwipayana, terdapat 31 titik persembahyangan yang terdiri dari ratusan rupang dan pelinggih. Umat beribadah dengan bebas, tanpa aturan khusus. Pengunjung yang datang sejak pukul 07.00 Wita terlihat mengenakan berbagai pakaian; ada yang memakai pakaian adat Bali, seperti kamen dan kebaya, sementara yang lain mengenakan pakaian bebas bernuansa merah. Canang, dupa, dan biji-bijian menjadi perlengkapan sembahyang yang umum digunakan.
Toleransi dan Kerukunan Antar Umat Beragama
Ida Bagus Adnyana menekankan bahwa Griya Kongco Dwipayana merupakan simbol nyata akulturasi budaya. Umat Hindu, Buddha, dan Tionghoa dapat beribadah dengan tenang dan nyaman di tempat ini. Perpaduan simbol dan sarana persembahyangan pun terlihat jelas, menunjukkan bagaimana perbedaan agama justru memperkaya kehidupan beragama di Bali.
Pengalaman Spiritual yang Mendalam
I Made Gede Widiasa, seorang umat Hindu yang rutin bersembahyang di Tanah Kilap, mengungkapkan perasaan damai dan saling menghormati yang ia rasakan. Baginya, berdoa di kongco sebelum melanjutkan persembahyangan di Pura Candi Narmada merupakan bagian dari penghormatan antarumat beragama. Ia percaya keikhlasan dan ketulusan hati adalah hal terpenting dalam beribadah.
Kearifan Lokal yang Menarik Perhatian Dunia
Bahkan warga negara asing (WNA) pun turut merasakan keindahan akulturasi budaya ini. Maria Catalina Bonilla Varon, seorang WNA Kolombia yang telah tinggal di Bali selama 5 tahun, menyatakan kekagumannya terhadap sikap saling menghormati antarumat beragama di Bali, meskipun berbeda keyakinan. Ia merasa terkesan dengan toleransi dan kerukunan yang terjalin di Tanah Kilap.
Kesimpulan
Perayaan Imlek di Tanah Kilap merupakan bukti nyata harmoni dan toleransi antarumat beragama di Bali. Acara ini bukan hanya perayaan Imlek semata, tetapi juga perwujudan akulturasi budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad, menjadikannya sebuah destinasi unik yang menarik perhatian baik masyarakat lokal maupun internasional.