Revisi Proyeksi IMF: Peluang Emas Percepat Pemerataan Ekonomi Indonesia, Apa Kata Peneliti?
Peneliti menilai revisi proyeksi IMF menjadi 4,8% adalah peluang bagi Pemerataan Ekonomi Indonesia. Namun, apakah pertumbuhan ini akan dirasakan semua lapisan masyarakat?

Peneliti Sosial Ekonomi Yayasan Kekal Berdikari, Jan Prince Permata, menyoroti revisi proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) edisi Juli 2025, proyeksi tersebut meningkat dari 4,7 persen menjadi 4,8 persen. Peningkatan ini dinilai sebagai peluang krusial bagi Indonesia untuk mempercepat pemerataan ekonomi.
Jan Prince Permata menyatakan bahwa revisi ini tidak hanya menunjukkan ketahanan ekonomi domestik yang kuat, melainkan juga membuka kesempatan penting untuk memperkuat pemerataan hasil pembangunan. Pernyataan ini disampaikan dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, menegaskan optimisme terhadap arah ekonomi nasional.
Peningkatan proyeksi IMF ini mencerminkan pengakuan global atas konsistensi transformasi ekonomi Indonesia. Transformasi ini meliputi penguatan industri berbasis hilirisasi, digitalisasi UMKM, serta stabilitas makroekonomi pasca transisi politik.
Pengakuan Global atas Transformasi Ekonomi Indonesia
IMF secara spesifik mencatat bahwa perbaikan outlook Indonesia didorong oleh beberapa faktor utama. Stabilitas politik pasca pemilu menjadi landasan kuat bagi iklim investasi dan bisnis. Selain itu, dorongan hilirisasi pada sektor mineral dan perkebunan turut berkontribusi signifikan.
Ekspansi ekonomi digital di Indonesia juga menjadi salah satu pendorong utama peningkatan proyeksi ini. Sektor digital telah membuka peluang baru bagi UMKM dan inovasi. Namun, di balik optimisme ini, risiko eksternal seperti konflik geopolitik, fragmentasi ekonomi, dan potensi kenaikan tarif global tetap menjadi bayangan.
Jan Prince Permata menekankan bahwa "Dunia mulai memperhitungkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru." Hal ini menunjukkan bahwa upaya transformasi yang telah dilakukan mulai membuahkan hasil nyata dan mendapatkan perhatian internasional.
Tantangan Pemerataan Ekonomi dan Inklusivitas
Meskipun menyambut positif optimisme IMF, Jan Prince Permata mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tercatat belum tentu dirasakan merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Pertumbuhan yang tinggi harus diimbangi dengan inklusivitas agar manfaatnya sampai ke semua golongan.
Pemerintah memiliki tugas besar untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Terutama kelompok miskin, hampir miskin, dan kelas menengah rentan. Pemerataan ekonomi dan penguatan sumber daya manusia (SDM) adalah kunci utama keberlanjutan pembangunan.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dinilai memiliki momentum strategis untuk membuktikan bahwa Indonesia mampu tumbuh cepat. Lebih dari itu, Indonesia harus membangun fondasi ekonomi yang kokoh dan berkeadilan. Kesempatan ini harus dimanfaatkan untuk menciptakan ekonomi yang tahan banting.
Jan Prince Permata menegaskan, "Ini adalah kesempatan emas bagi Presiden Prabowo untuk membangun ekonomi yang tidak hanya cepat tumbuh, tetapi juga adil dan tahan banting." Indonesia memiliki bonus demografi, ekosistem investasi kondusif, dan jaringan perdagangan baru yang dapat dimanfaatkan.
Lanskap Ekonomi Global dan Posisi Indonesia
Dalam lanskap regional, Indonesia kini bersaing ketat dengan negara-negara ASEAN lainnya. Persaingan ini terutama dalam menarik investasi relokasi dari negara-negara Barat. Hal ini terjadi di tengah perubahan arah ekonomi China yang kini lebih fokus pada konsumsi domestik.
Laporan IMF juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan mencapai 3,0 persen pada 2025, dan meningkat tipis menjadi 3,1 persen pada 2026. Perubahan ini ditopang oleh pelemahan dolar AS, pelonggaran fiskal di negara-negara besar, serta pelunakan tensi dagang global.
Bhutan (7,0 persen), Tajikistan (6,7 persen), dan India (6,4 persen) memimpin pertumbuhan ekonomi di Asia. India mengalami revisi naik 0,2 poin, didorong oleh konsumsi domestik dan investasi teknologi. China juga mengalami revisi naik 0,8 poin menjadi 4,8 persen, merefleksikan efek kebijakan stimulus.
Meskipun proyeksi 4,8 persen menempatkan Indonesia di atas rata-rata pertumbuhan negara berkembang, capaian ini masih di bawah target strategis jangka menengah pemerintah sebesar 5,5-6,0 persen. Jan Prince Permata menilai ini sebagai pengingat bahwa tantangan struktural di sektor ketenagakerjaan, produktivitas, serta daya saing ekspor masih perlu dijawab serius.