Revisi UU ASN: Ancaman bagi Otonomi Daerah dan Masa Depan Birokrasi Indonesia?
Revisi UU ASN 2023 menuai kritik karena berpotensi mengancam otonomi daerah dan sentralisasi birokrasi ke pemerintah pusat, memicu kekhawatiran terhadap masa depan birokrasi Indonesia.

Jakarta, 2 Mei 2024 - Revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tengah menjadi sorotan tajam. Perubahan yang diusulkan menimbulkan kekhawatiran akan mengancam masa depan birokrasi Indonesia, khususnya terkait otonomi daerah dan potensi sentralisasi kekuasaan di pemerintah pusat. Berbagai pihak, termasuk pengamat politik dan akademisi, telah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap dampak revisi UU ini.
Pengamat politik, Ray Rangkuti, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa revisi UU ASN akan mengakibatkan sentralisasi birokrasi ke pemerintah pusat. Hal ini, menurutnya, akan membatasi otonomi daerah dalam mengelola birokrasi mereka sendiri. "Birokrasinya tidak lagi bisa sepenuhnya dielaborasi oleh kepala-kepala daerah mengingat ketertumpuan mereka sekarang ke pemerintah pusat," ujar Ray dalam keterangannya di Jakarta.
Seminar bertajuk 'Revisi UU ASN Ancaman Bagi Masa Depan Birokrasi' di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Kamis (1/5), menjadi forum diskusi mengenai potensi dampak negatif revisi UU ini. Para peserta seminar, termasuk akademisi dan mahasiswa, turut menyoroti berbagai potensi masalah yang dapat ditimbulkan oleh revisi UU ASN.
Potensi Sentralisasi dan Konflik Pemerintah Pusat-Daerah
Ray Rangkuti lebih lanjut menjelaskan bahwa revisi UU ASN berpotensi menimbulkan kontradiksi antara pemerintah pusat dan daerah. Ia mencontohkan, "Birokrasinya enggan-engganan yang kebetulan kepala daerahnya itu beda partai dengan presiden." Pernyataan ini menyoroti potensi politisasi birokrasi yang dapat terjadi jika kewenangan pengelolaan ASN dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Akademisi UIN Jakarta, Zaki Mubarak, menekankan pentingnya peran aktif mahasiswa dalam mengawal dan membahas revisi UU ASN. Ia berpendapat, "Ini adalah salah satu upaya kami sebagai mahasiswa untuk mengawal dan menyoroti segala macam kebijakan yang bergulir yaitu mengenai revisi undang-undang ASN yang ini tentunya penting untuk keberlangsungan birokrasi kita." Hal senada disampaikan oleh perwakilan BEM Unindra, M Amiruddin, yang menambahkan perlunya kajian kritis dan pengawalan terhadap revisi UU ini untuk memastikan perbaikan tata kelola birokrasi.
Amiruddin menambahkan, "Kita hidup dalam negara demokrasi yang sangat dekat keteraturan hidup kita bergantung pada bagaimana keefektifan birokrasi." Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya birokrasi yang efektif dan efisien dalam menunjang kehidupan bernegara.
Revisi UU ASN dan Kewenangan Pemerintah Pusat
Komisi II DPR RI telah mengusulkan revisi UU ASN masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Wakil Ketua Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin, menjelaskan bahwa poin perubahan dalam revisi UU ASN terkait pasal pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan ASN tingkat Eselon II ke atas. "Perubahan tersebut lebih menyangkut norma yang terkait dengan pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan ASN, terutama ASN yang di struktural, yang menjabat Eselon II di tingkat daerah, baik itu sebagai pimpinan tinggi pratama maupun pimpinan tinggi madya," jelas Zulfikar.
Zulfikar menambahkan bahwa wacana perubahan dalam UU ASN mengusulkan agar kewenangan tersebut dikembalikan kepada pemerintah pusat. "(Kewenangan) adanya di tangan presiden lah," ucapnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi dengan semangat otonomi daerah yang telah diamanatkan dalam UUD 1945.
Saat ini, UU ASN yang berlaku mendelegasikan kewenangan tersebut kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di masing-masing instansi dan daerah. Zulfikar mengingatkan bahwa semangat otonomi daerah dalam UUD NRI 1945 menekankan desentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah. "Kita negara kesatuan yang disentralisasikan, kita menjunjung tinggi semangat otonomi daerah, dan dalam Pasal 18 UUD tahun 1945 itu dinyatakan pelaksanaan otonomi itu seluas-luasnya," tegasnya.
Revisi UU ASN ini perlu dikaji secara mendalam untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan tidak justru menghambat efektivitas dan efisiensi birokrasi serta mengancam otonomi daerah. Partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil, sangat penting dalam proses pengawasan dan penyempurnaan revisi UU ini agar tujuan perbaikan tata kelola birokrasi dapat tercapai tanpa mengorbankan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.