Polemik Revisi UU ASN: Komisi II DPR Pertanyakan Sentralisasi Wewenang Pengangkatan Eselon II
Komisi II DPR mempertanyakan rencana revisi UU ASN yang akan mengembalikan wewenang pengangkatan dan pemindahan pejabat Eselon II ke pemerintah pusat, dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah.

Wakil Ketua Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin, menyatakan kegelisahannya terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Perubahan yang diusulkan berfokus pada pasal pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan Aparatur Sipil Negara (ASN) Eselon II ke atas. Diskusi ini mengemuka dalam Forum Legislasi 'RUU ASN Menjadi Harapan untuk Kesejahteraan ASN' di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/4).
Poin krusial yang dipertanyakan adalah rencana sentralisasi wewenang. Saat ini, kewenangan tersebut didelegasikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di masing-masing instansi dan daerah, selaras dengan semangat otonomi daerah yang tertuang dalam UUD 1945. Namun, revisi UU ASN yang diusulkan ingin mengembalikan wewenang tersebut ke pemerintah pusat, tepatnya di tangan Presiden. Zulfikar menekankan, “'(Kewenangan) di presiden lah, di tangan presiden,”
Komisi II DPR melihat rencana perubahan ini sebagai langkah yang kontraproduktif terhadap prinsip desentralisasi. Zulfikar menegaskan, “Kami Komisi II, berpikir (wacana perubahan) itu tidak ubahnya kita ingin melakukan sentralisasi.” Hal ini dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang selama ini dijalankan, di mana kewenangan diberikan kepada daerah untuk mengelola ASN di wilayahnya.
Kewenangan Pusat vs. Otonomi Daerah
Zulfikar menjelaskan bahwa UU ASN yang berlaku saat ini sejalan dengan semangat otonomi daerah. Ia mengutip Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya. Dengan mengembalikan wewenang pengangkatan dan pemindahan pejabat Eselon II ke pusat, revisi UU ASN dinilai akan mengurangi kewenangan daerah dalam mengelola pemerintahannya sendiri.
Lebih lanjut, Zulfikar mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak revisi UU ASN terhadap sistem pemerintahan di daerah. Ia mempertanyakan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis dari usulan perubahan tersebut. Oleh karena itu, Komisi II DPR meminta Badan Keahlian DPR RI untuk melakukan kajian mendalam dan menyeluruh sebelum revisi UU ASN diputuskan.
Komisi II juga meminta agar dilakukan public hearing untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak terkait. Hal ini penting untuk memastikan bahwa revisi UU ASN tidak hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan politik yang lebih luas. Kajian yang komprehensif diharapkan dapat memberikan dasar yang kuat dan terukur sebelum dilakukan perubahan terhadap UU ASN.
Langkah Komisi II DPR
Menanggapi rencana revisi UU ASN, Komisi II DPR RI telah mengambil langkah proaktif. Mereka meminta Badan Keahlian DPR RI untuk melakukan kajian ulang terhadap wacana perubahan klausul dalam UU ASN. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan didasarkan pada kajian yang mendalam dan komprehensif, serta mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan.
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, sebelumnya telah menyatakan bahwa RUU tentang Perubahan atas UU ASN akan dibahas oleh komisinya atas penugasan Badan Legislasi DPR RI. Ia menegaskan bahwa pembahasan ini bukan soal prioritas, melainkan soal penugasan dari lembaga terkait. Hal ini menunjukkan bahwa DPR RI serius dalam membahas revisi UU ASN dan memastikan bahwa proses revisi dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Dengan adanya permintaan kajian ulang dan public hearing dari Komisi II DPR, diharapkan revisi UU ASN dapat dilakukan secara bijak dan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini penting untuk memastikan bahwa revisi UU ASN tidak justru menghambat proses pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Proses revisi UU ASN ini menjadi sorotan karena menyangkut hal yang sangat penting, yaitu pengelolaan ASN di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan pertimbangan yang matang agar revisi ini dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan bangsa.