RSUD AWS Samarinda Diklarifikasi Soal Dugaan Pengusiran Pasien Balita
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) AWS Samarinda memberikan klarifikasi terkait isu pengusiran pasien balita 16 bulan yang menjalani tiga kali operasi akibat cairan di otak, diduga karena miskomunikasi dan potensi risiko tinggi tindakan medis.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdoel Wahab Sjahranie (AWS) Samarinda, Kalimantan Timur, menjadi sorotan setelah beredar isu pengusiran pasien balita berusia 16 bulan. Balita tersebut telah menjalani tiga kali operasi karena adanya cairan di otaknya. Kejadian ini terjadi pada Selasa, 22 April 2025, dan menimbulkan keprihatinan berbagai pihak, termasuk DPRD Kota Samarinda.
Kepala Instalasi Humas RSUD AWS, dr. Arysia Andhina, memberikan klarifikasi terkait isu tersebut. Ia menyatakan bahwa kemungkinan besar situasi ini terjadi akibat miskomunikasi. Penjelasan lebih lanjut mengenai kronologi kejadian dan keputusan medis yang diambil rumah sakit masih dalam proses konfirmasi internal.
Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa kasus yang dialami pasien balita tersebut memiliki potensi risiko tinggi. Tingkat kegagalan alat medis yang dipasang pada anak di bawah dua tahun bisa mencapai empat persen, dan angka ini meningkat hingga 98 persen pada usia 10 tahun. Hal ini disebabkan oleh perubahan berat badan dan kondisi tubuh pasien. Rumah sakit menekankan bahwa potensi kegagalan tersebut bukan karena kesalahan prosedur pemasangan alat, melainkan lebih kepada potensi kegagalan alat medis itu sendiri.
Klarifikasi RSUD AWS dan Tanggapan DPRD
Dokter Arysia Andhina menjelaskan bahwa pasien mungkin disarankan pulang karena tidak ada tindakan medis lanjutan yang diperlukan. Namun, ia menegaskan bahwa keputusan tersebut harus melalui koordinasi dengan manajemen rumah sakit. Penjelasan ini bertujuan untuk meluruskan kesalahpahaman terkait dugaan pengusiran pasien.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPRD Kota Samarinda, Adnan Faridhan, bersama Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRac PPA), langsung meninjau kondisi pasien balita bernama Radepa di RSUD AWS. Adnan mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi Radepa yang terus memburuk setelah menjalani operasi sejak Februari 2025.
Adnan juga mendengar informasi dari keluarga pasien mengenai potensi kebutaan dan kelumpuhan pada satu sisi tubuh Radepa. Ia menanggapi informasi mengenai dugaan ancaman pengusiran pasien dengan menyatakan kekagetan dan keprihatinannya, mengingat kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk dipulangkan.
Adnan Faridhan telah berkoordinasi dengan pihak rumah sakit dan berencana bertemu dengan Direktur Utama RSUD AWS pada Rabu, 23 April 2025, untuk memperoleh informasi lebih jelas dan mencari solusi terbaik bagi pasien. Ia menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menangani kasus ini karena menyangkut keselamatan nyawa pasien.
Potensi Risiko Tinggi dan Tindakan Medis
Rumah sakit menjelaskan secara detail mengenai potensi risiko tinggi pada tindakan medis yang dilakukan pada pasien balita. Tingkat keberhasilan pemasangan alat medis pada anak di bawah dua tahun memang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang lebih besar. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan medis.
Penjelasan mengenai potensi kegagalan alat medis juga didukung oleh sejumlah penelitian medis. Faktor-faktor seperti perubahan berat badan dan kondisi tubuh pasien dapat mempengaruhi keberhasilan tindakan medis. Oleh karena itu, penting bagi rumah sakit untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh dan mengambil keputusan medis yang tepat.
Meskipun terdapat potensi risiko tinggi, rumah sakit tetap berkomitmen untuk memberikan perawatan terbaik bagi pasien. Koordinasi antara pihak rumah sakit, keluarga pasien, dan pihak terkait lainnya sangat penting untuk memastikan penanganan yang optimal dan mencegah kesalahpahaman di masa mendatang.
Pertemuan antara Adnan Faridhan dan Direktur Utama RSUD AWS diharapkan dapat memberikan kejelasan dan solusi terbaik bagi pasien balita tersebut. Kasus ini menyoroti pentingnya komunikasi yang efektif dan transparan antara rumah sakit dan keluarga pasien dalam penanganan kasus medis yang kompleks dan berisiko tinggi.
Semoga hasil pertemuan tersebut dapat memberikan jalan keluar terbaik bagi Radepa dan keluarganya, serta menjadi pembelajaran bagi pihak rumah sakit dalam meningkatkan komunikasi dan pelayanan medis kepada pasien.