Rupiah Menguat Drastis: Dampak Ekonomi & Pelajaran dari Sejarah
Kejadian kurs dolar AS di Google yang salah, yaitu Rp8.170, memicu diskusi tentang dampak apresiasi rupiah secara tiba-tiba dan pelajaran dari sejarah penguatan Yen Jepang dan Krona Islandia.

Akhir pekan lalu, jagat maya dihebohkan oleh informasi nilai tukar 1 dolar AS setara Rp8.170,65 di Google. Namun, Bank Indonesia (BI) langsung mengklarifikasi bahwa informasi tersebut keliru. Kurs rupiah terhadap dolar AS pada 31 Januari 2025 adalah Rp16.312, menurut data BI. Google menyatakan kesalahan itu berasal dari data pihak ketiga yang kini telah diperbaiki. Kejadian ini memicu pertanyaan menarik: apa jadinya jika rupiah tiba-tiba menguat drastis?
Dalam ekonomi, penguatan nilai mata uang terhadap mata uang asing disebut apresiasi, sedangkan pelemahan disebut depresiasi. Apresiasi yang cepat dan signifikan dapat berdampak besar. Ekspor menjadi lebih mahal bagi pembeli asing, mengurangi daya saing dan merugikan industri ekspor. Sebaliknya, impor menjadi lebih murah, menguntungkan konsumen dan industri berbasis impor. Inflasi bisa turun, tetapi produsen dalam negeri terancam oleh barang impor murah.
Negara dengan utang luar negeri dalam dolar AS akan diuntungkan karena lebih mudah melunasi utang. Apresiasi juga bisa menarik investasi asing, karena menunjukkan kekuatan ekonomi. Namun, hal ini bisa merugikan industri ekspor yang kesulitan bersaing. Akibatnya, muncul potensi ketimpangan ekonomi: sektor ekspor terpuruk, lapangan kerja hilang, sementara industri berbasis impor berkembang pesat. Ketidakpuasan sosial pun mungkin terjadi. Oleh karena itu, pemerintah perlu kebijakan tepat untuk mengelola perubahan ekonomi dan menjaga stabilitas politik.
Sejarah Mengajarkan Kita
Lalu, bagaimana contoh nyata apresiasi mata uang yang cepat dan dampaknya? Salah satu contohnya adalah penguatan Yen Jepang pasca-Plaza Accord (1985). Kesepakatan antara AS, Jepang, Jerman, Perancis, dan Inggris ini bertujuan mendepresiasi dolar AS. Negara-negara tersebut menjual dolar dan membeli mata uang lain, termasuk Yen. Akibatnya, Yen menguat hampir 50 persen terhadap dolar AS hanya dalam dua tahun (1985-1987).
Penguatan Yen mencerminkan kekuatan ekonomi Jepang. Namun, hal ini juga melemahkan daya saing ekspor Jepang dan berkontribusi pada gelembung spekulatif di sektor properti dan saham pada akhir 1980-an. Untuk melawan dampak negatif, Bank Sentral Jepang (BOJ) menurunkan suku bunga, yang malah memicu ledakan kredit dan gelembung ekonomi. Pecahnya gelembung ini menandai 'Dekade Hilang' Jepang (1990-an), periode stagnasi ekonomi yang panjang.
Krona Islandia: Contoh Lain
Contoh lain adalah Krona Islandia yang menguat lebih dari 40 persen terhadap Euro antara 2001 dan 2008. Penguatan ini didorong suku bunga tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, krisis keuangan global tahun 2008, ditambah dengan kegagalan tiga bank besar Islandia, menyebabkan krisis ekonomi di Islandia. Apresiasi Krona, walau bukan penyebab utama, memperburuk situasi. Peminjaman menjadi mudah, tetapi ketika Krona terdepresiasi pasca-krisis, biaya utang luar negeri membengkak.
Kesimpulan
Apresiasi mata uang yang cepat, seperti skenario 1 dolar AS setara Rp8.170, bisa memberikan manfaat jangka pendek, tetapi risikonya signifikan. Ketergantungan pada ekspor atau spekulasi keuangan dapat memperburuk dampak negatif. Pendekatan yang lebih baik adalah perubahan nilai tukar yang bertahap, didukung kebijakan ekonomi yang kuat dan reformasi struktural untuk keberlanjutan jangka panjang.