RUU Perkoperasian: DPR Usul Klasifikasi Sanksi Pidana yang Jelas
Anggota Baleg DPR RI, Habib Syarif Muhammad, mendorong klasifikasi sanksi pidana yang jelas dalam RUU Perkoperasian untuk mencegah penurunan partisipasi anggota dan hambatan pertumbuhan ekonomi kerakyatan.

Jakarta, 20 Maret 2024 - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Habib Syarif Muhammad, menyoroti pentingnya klasifikasi yang jelas dalam penerapan sanksi pidana pada Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Hal ini disampaikan terkait rencana penerapan sanksi pidana dalam pengelolaan koperasi yang dinilai sebagai langkah maju, namun perlu diimbangi dengan kejelasan agar tidak menimbulkan dampak negatif.
Syarif mengungkapkan kekhawatirannya bahwa penerapan sanksi pidana yang kaku dapat menurunkan partisipasi anggota dalam kepengurusan koperasi. Oleh karena itu, diperlukan klasifikasi yang rinci, mempertimbangkan berbagai faktor seperti subjek pelanggaran, besaran kerugian yang ditimbulkan, dan jenis pelanggaran itu sendiri. "Bagi saya perlu klasifikasi jelas baik terkait subjek, besaran kerugian, hingga jenis pelanggaran dalam penerapan sanksi pidana pengelolaan koperasi," tegas Syarif dalam keterangan tertulisnya.
Perlu diingat bahwa pengelolaan koperasi yang baik membutuhkan penguatan regulasi hukum. Banyak kasus pidana dalam pengelolaan koperasi telah merugikan anggota, terutama kasus dengan skala kerugian yang besar. Oleh karena itu, penting untuk menyeimbangkan penegakan hukum dengan perlindungan terhadap pertumbuhan ekonomi kerakyatan.
Sanksi Pidana: Proporsional dan Sebagai Jalan Terakhir
Habib Syarif Muhammad menekankan pentingnya proporsionalitas dalam penerapan sanksi pidana di lingkungan koperasi. Sanksi pidana seharusnya menjadi pilihan terakhir, bukan langkah pertama. Penerapan yang tidak bijak justru dapat menghambat pertumbuhan ekonomi kerakyatan yang selama ini menjadi salah satu fokus utama pembangunan Indonesia.
Meskipun demikian, ia mengakui perlunya sanksi pidana sebagai pencegah agar koperasi tidak disalahgunakan oleh oknum tertentu. "Tapi satu sisi sanksi pidana diperlukan agar tidak dimanfaatkan oknum tertentu karena tak adanya sanksi pidana pada perkoperasian dapat menimbulkan kerugian," tambahnya.
Sebagai referensi, DPR RI dapat mencontoh sistem penegakan hukum perkoperasian di negara lain seperti Filipina dan Malaysia. Di Filipina, pelanggaran hukum di sektor koperasi dapat dihukum penjara 2 hingga 5 tahun, sementara pelanggaran pajak koperasi dapat diancam hukuman 1 tahun penjara. Di Malaysia, pelanggaran kebocoran data rahasia di koperasi dapat dipidana maksimal 6 bulan.
Adopsi Model Malaysia: Pencegahan Penipuan dan Penggelapan
Habib Syarif Muhammad memberikan dukungan terhadap adopsi model Malaysia dalam penerapan sanksi pidana di koperasi Indonesia. Kedekatan geografis dan kemiripan sistem ekonomi membuat model Malaysia relevan untuk dipertimbangkan. Menurutnya, penting untuk mencegah kasus penipuan dan penggelapan uang anggota koperasi yang dapat merugikan banyak pihak.
Dengan adanya klasifikasi sanksi pidana yang jelas dan proporsional, diharapkan RUU Perkoperasian dapat memberikan perlindungan hukum yang baik bagi anggota koperasi, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan. Hal ini juga akan memberikan kepastian hukum bagi para pengurus koperasi dalam menjalankan tugasnya.
Penting untuk diingat bahwa koperasi memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam memberdayakan masyarakat. Oleh karena itu, regulasi yang tepat dan penegakan hukum yang adil sangat diperlukan untuk menjaga keberlangsungan dan perkembangan koperasi di Indonesia.
Langkah-langkah yang diambil DPR RI dalam merumuskan RUU Perkoperasian ini diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang komprehensif, melindungi kepentingan anggota koperasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan secara berkelanjutan.