Sampah Plastik: Ancaman Mikroplastik di Indonesia dan Upaya Penanganannya
Indonesia menghadapi masalah serius sampah plastik, khususnya mikroplastik yang telah mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan manusia; pemerintah berupaya mengurangi sampah plastik melalui berbagai strategi.

Penemuan plastik sintetis pertama pada 1907 oleh Leo Baekeland membawa dampak besar bagi kehidupan manusia, namun juga memunculkan dilema lingkungan. Produksi plastik yang masif sejak pertengahan abad ke-20 telah menghasilkan 9,2 miliar metrik ton sampah plastik hingga 2017, dan diperkirakan mencapai 400 juta metrik ton pada 2023. Plastik, yang sulit terurai secara alami, telah mencemari berbagai ekosistem, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia, sampah plastik merupakan penyumbang terbesar kedua timbulan sampah nasional setelah sisa makanan. Data SIPSN tahun 2024 menunjukkan 19,73 persen dari 31,2 juta ton sampah nasional merupakan sampah plastik, dan tidak semuanya terolah dengan baik. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menemukan mikroplastik di perairan Kepulauan Seribu, bahkan menempel pada kulit manusia, menunjukkan pencemaran yang meluas.
Rafika Aprilianti dari Ecoton menjelaskan bahwa mikroplastik berasal dari berbagai sumber, termasuk limbah domestik, aktivitas wisata, dan pembakaran sampah. Mikroplastik, yang masuk ke tubuh melalui makanan, minuman, pernapasan, dan kontak langsung, dapat menyebabkan iritasi, peradangan, dan bahkan kanker. Penelitian Ecoton juga menunjukkan adanya mikroplastik dalam teh celup, yang menjadi bukti paparan mikroplastik melalui konsumsi sehari-hari.
Ancaman Mikroplastik dan Upaya Pemerintah
Pemerintah Indonesia menyadari dampak serius mikroplastik dan telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi sampah plastik. Pemantauan di 24 provinsi pada 2024 menunjukkan kelimpahan mikroplastik di perairan dan sedimen pantai. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan komitmen pemerintah dalam menangani masalah sampah, meskipun tingkat pengelolaan sampah nasional masih rendah (39,01 persen pada 2023).
Capaian pengurangan sampah plastik ke laut pada 2023 mencapai 41,68 persen, namun masih di bawah target. Pemerintah berupaya mengatasi hal ini dengan berbagai langkah, seperti penertiban TPA terbuka, pemberian sanksi administratif, dan kerja sama dengan produsen untuk mengurangi kemasan sekali pakai. Impor sampah plastik juga telah dilarang.
Selain daur ulang, pemerintah mendorong penggunaan kembali (reuse) kemasan dan wadah, terutama dalam sektor perhotelan, restoran, dan katering. Regulasi teknis terkait kewajiban pengelola kawasan untuk mengelola sampahnya juga sedang dipersiapkan. Sistem layanan berlangganan produk dan sistem isi ulang (reffil) juga tengah dikembangkan.
Solusi Berkelanjutan: Kolaborasi dan Perubahan Perilaku
Pengurangan sampah plastik membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Penerapan prinsip ekonomi sirkular dan hirarki pengelolaan sampah sangat penting. Penggunaan kembali kemasan merupakan prioritas utama untuk mengurangi timbulan sampah dan menghemat penggunaan bahan baku plastik baru.
Pemerintah juga mendorong inovasi dalam pengelolaan sampah, seperti sistem logistik untuk pengumpulan kemasan bekas pakai dan sistem layanan berlangganan produk dengan kemasan yang dapat dikembalikan. Pentingnya edukasi dan perubahan perilaku masyarakat dalam mengurangi penggunaan plastik sekali pakai juga menjadi kunci keberhasilan upaya ini.
Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat menekan jumlah sampah plastik di Indonesia, melindungi lingkungan, dan memastikan kesehatan masyarakat. Hal ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 yang menargetkan lingkungan yang bersih dan sehat untuk seluruh rakyat Indonesia. Kolaborasi dan komitmen bersama sangat krusial untuk mencapai tujuan ini.