Sawah: Warisan Agung Nenek Moyang yang Tak Mudah Diwujudkan
Proses pembuatan sawah ternyata jauh lebih kompleks daripada sekadar membajak tanah; dibutuhkan kesabaran dan teknologi untuk menghasilkan lahan pertanian padi yang produktif.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Artikel ini menjelaskan kompleksitas proses pembuatan sawah, yang merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia. Dr. Destika Cahyana, peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, memaparkan tantangan dalam menciptakan lahan sawah produktif, khususnya dari lahan kering, yang membutuhkan waktu dan teknologi yang signifikan. Artikel ini diterbitkan pada Maret 2024 oleh ANTARA.
Berbeda dengan piramida Mesir atau Candi Borobudur yang langsung terlihat megah, sawah merupakan karya agung nenek moyang yang proses pembuatannya seringkali luput dari perhatian. Proses ini membutuhkan kesabaran dan konsistensi yang tinggi, karena sawah baru memiliki produktivitas rendah (25-50 persen) dibandingkan sawah yang telah stabil. Jika ditinggalkan, lahan tersebut akan kembali menjadi semak belukar dalam waktu singkat.
Membuat sawah melibatkan perubahan drastis kondisi tanah. Tanah kering yang porous harus diubah menjadi tanah berlumpur yang mampu menahan air. Proses ini menimbulkan berbagai kendala, seperti efisiensi air rendah, kesuburan tanah rendah, dan perubahan kimia tanah yang merugikan pertumbuhan tanaman akibat penggenangan, seperti yang diungkap dalam publikasi Nursyamsi dkk (2000).
Tantangan Pencetakan Sawah Baru
Pencetakan sawah baru, terutama dari lahan kering marginal (Oxisols, Ultisols, Inceptisols berpirit, dan Histosols), menghadapi berbagai tantangan. Tanah yang subur telah banyak digunakan atau beralih fungsi. Kendala utama adalah produktivitas rendah akibat perubahan kondisi dari kering menjadi basah. Perubahan ini menyebabkan beberapa masalah, antara lain:
- Konsentrasi kation-kation yang bersifat racun meningkat (Fe2+, Mn2+).
- Kekurangan Ca dan Mg.
- K tercuci.
- Jerapan P, S, dan Mo.
- Pengaruh buruk dari H+.
- Gangguan hubungan tata air dan udara.
Keracunan besi, misalnya, terjadi pada tanah masam yang tergenang. Besi berubah bentuk dari Fe3+ (aman) menjadi Fe2+ (racun). Penggenangan juga menghasilkan senyawa beracun seperti karbon dioksida, metan, asam organik, dan hidrogen sulfida.
Penelitian menunjukkan bahwa pada tanah Ultisols, hara N, P, dan K menjadi pembatas pertumbuhan padi, sementara pada Inceptisols, ditambah hara S. Pemberian pupuk kandang dan pengembalian jerami padi, dikombinasikan dengan pupuk N dan P, dapat meningkatkan pertumbuhan padi.
Proses Stabilisasi Lahan Sawah
Pada pencetakan sawah, pengeringan sebagian tanah saat pembuatan saluran tak terhindarkan, mengubah kondisi tanah dari reduktif menjadi oksidatif, dan memicu terbentuknya senyawa beracun. Pada tanah sulfat masam, pirit (FeS2) teroksidasi membentuk asam sulfat, membuat tanah sangat masam (pH < 4). Kondisi ini menghambat pertumbuhan akar tanaman.
Riset menunjukkan sawah baru dari lahan kering dapat berproduksi baik setelah 5 tahun penggunaan terus menerus. Pelumpuran dan pembentukan lapisan bajak yang stabil membutuhkan waktu. Di masa lalu, pelumpuran dibantu oleh hewan ternak, sementara kini menggunakan traktor, yang membutuhkan penambahan bahan organik eksternal.
Sawah dari lahan rawa sulfat masam membutuhkan waktu lebih lama untuk stabil, karena proses pencucian pirit yang teroksidasi membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan hingga 10 tahun. Hal ini menjelaskan mengapa sawah di lahan rawa sulfat masam baru produktif setelah bertahun-tahun.
Indonesia memiliki luas sawah baku 7,38 juta ha (data 2024). Memelihara sawah ini krusial, karena membuka lahan sawah baru membutuhkan biaya dan waktu yang jauh lebih besar. Satu hektare sawah produktif yang hilang membutuhkan penggantian lahan 2-4 kali lipat.
Kesimpulannya, membuat sawah bukanlah proses yang sederhana. Memahami kompleksitas ini penting untuk menghargai warisan leluhur dan menjaga keberlanjutan produksi padi di Indonesia.