SEI Desak Polda Aceh Tuntaskan Kasus TPPO Anak Aceh di Kapal Ikan Asing
Sumatera Environmental Initiative (SEI) mendesak Polda Aceh menyelesaikan kasus perdagangan orang (TPPO) terhadap anak-anak Aceh yang bekerja ilegal di kapal perikanan asing, setelah laporan pada November 2023 belum membuahkan hasil yang diharapkan.

Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terhadap anak-anak Aceh yang bekerja di kapal perikanan asing kembali mencuat. Sumatera Environmental Initiative (SEI), lembaga pendamping hukum, mendesak Kepolisian Daerah Aceh (Polda Aceh) untuk segera menyelesaikan kasus ini. Laporan resmi kasus TPPO ini telah diajukan pada November 2023, namun hingga kini belum ada perkembangan signifikan yang memuaskan SEI dan para korban.
Crisna Akbar, peneliti kebijakan SEI, menyatakan kekecewaannya atas lambatnya penanganan kasus ini. "Kami berharap kasus TPPO ini bisa dituntaskan. Kami sudah menyampaikan kronologi kejadian dan siapa saja terduga pelakunya. Penuntasan kasus ini penting untuk mewujudkan rasa keadilan para korban," ujar Crisna saat menghadiri gelar perkara TPPO di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Aceh. Gelar perkara tersebut membahas kasus 12 pelajar SMK yang bekerja ilegal di kapal perikanan asing pada periode 2019-2020.
SEI mengungkapkan bahwa baru pada bulan ketujuh setelah pelaporan, mereka menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP). SP2HP tersebut menyatakan pelimpahan kasus ke wilayah hukum kepolisian lain. "Alasan pelimpahan karena lokasi kasus. Kami pikir ini bukan soal locus, tetapi bagaimana kasus ini diselesaikan. Banyak anak Aceh menjadi korban dipekerjakan di kapal perikanan asing secara ilegal," tegas Crisna.
Sebelumnya, SEI telah memberikan pendampingan dan melaporkan 43 anak Aceh yang menjadi korban eksploitasi di kapal perikanan asing. Mereka direkrut dengan dalih program magang, tetapi kenyataannya mereka mengalami perlakuan buruk selama bekerja di kapal tersebut.
Kondisi memprihatinkan dialami para korban TPPO. Crisna menjelaskan bahwa para korban mengalami siksaan, upah yang tidak dibayarkan, dan jam kerja yang sangat panjang, hingga 16 jam per hari. Mereka dipaksa bekerja selama satu hingga dua tahun di kapal tersebut, dan dipulangkan melalui jalur ilegal. Kondisi ini menimbulkan trauma mendalam bagi para korban dan keluarga mereka.
SEI berharap agar kepolisian dapat mengusut tuntas kasus ini dan memberikan keadilan bagi para korban. "Kasus ini mencuat setelah sebelumnya para korban tidak tahu mengadu ke mana. Ada orang tua masih depresi anaknya menjadi korban," ungkap Crisna. SEI menekankan perlunya penegakan hukum yang tegas untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali.
Kejadian ini menyoroti pentingnya perlindungan anak dan pengawasan ketat terhadap praktik perekrutan tenaga kerja, khususnya dalam sektor perikanan. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak terkait lainnya untuk memastikan tidak ada lagi anak-anak Aceh yang menjadi korban TPPO di kapal perikanan asing. SEI berharap kasus ini menjadi momentum untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum di sektor ini.