Sinta Nuriyah Wahid: TPPO Eksploitasi Psikologis Korban, Pemerintah Diminta Lebih Serius
Sinta Nuriyah Wahid mengingatkan bahaya perdagangan orang (TPPO) yang semakin canggih dan mengeksploitasi psikologis korban, mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam penanganannya.

Jakarta, 25 April 2024 - Sinta Nuriyah Wahid, istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menyoroti maraknya perdagangan orang (TPPO) yang kini memanfaatkan celah psikologis masyarakat. Modus operandi pelaku TPPO semakin canggih, mengeksploitasi kebutuhan ekonomi dan harapan korban untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Peringatan ini disampaikan Sinta dalam Dialog Psikologi Nusantara XIII di Universitas Bina Nusantara, Jakarta Barat.
Dalam dialog tersebut, Sinta, yang juga pendiri Yayasan Puan Amal Hayati, menjelaskan bagaimana pelaku TPPO dengan licik menargetkan individu yang rentan secara ekonomi dan psikologis. Mereka menawarkan pekerjaan dengan iming-iming gaji tinggi, memanfaatkan kondisi ekonomi sulit yang dialami banyak masyarakat. "Hati-hati, modus operandi yang digunakan oleh para sindikat canggih, mereka menggunakan cara-cara yang halus dan canggih dengan bujuk rayu yang menipu masyarakat," tegas Sinta.
Minimnya literasi masyarakat terkait TPPO menjadi faktor utama yang memperparah situasi. Kurangnya pengetahuan dan kewaspadaan membuat masyarakat mudah tertipu oleh janji-janji manis para pelaku. "Ketika ada tawaran pekerjaan, masyarakat tidak butuh waktu panjang lagi untuk menerimanya," ujar Sinta, menggambarkan betapa mudahnya korban terperangkap dalam jerat TPPO.
Modus Operandi TPPO yang Semakin Canggih
Sinta Nuriyah Wahid menekankan bahwa pelaku TPPO tidak hanya memanfaatkan kondisi ekonomi, tetapi juga memainkan aspek psikologis korban. Mereka memahami kerentanan emosional dan kebutuhan akan pekerjaan, menjadikan korban lebih mudah ditipu dan dimanfaatkan. Pelaku seringkali membangun hubungan kepercayaan sebelum melancarkan aksinya.
Salah satu contoh modus operandi yang digunakan adalah penawaran pekerjaan dengan gaji tinggi di luar negeri atau di kota-kota besar. Korban dijanjikan kehidupan yang lebih baik, namun pada kenyataannya mereka justru dieksploitasi dan diperlakukan secara tidak manusiawi.
Kemampuan pelaku TPPO untuk membangun kepercayaan dan memanfaatkan harapan korban menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pencegahan. Hal ini membutuhkan edukasi dan kesadaran masyarakat yang lebih luas.
Peran Pemerintah dan Pentingnya Empati
Sinta Nuriyah Wahid juga mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam menangani TPPO. Menurutnya, perlindungan terhadap perempuan dan anak, serta upaya pemberantasan TPPO, masih belum optimal. "Penyediaan institusi dan perangkat hukum atau kebijakan harus diiringi dengan penyediaan SDM dan sarana yang memadai supaya dapat menjalankan peran dan institusi secara optimal," ujarnya.
Selain itu, Sinta menekankan pentingnya pendekatan yang penuh empati terhadap korban TPPO. Korban tidak boleh direndahkan atau disalahkan, melainkan harus mendapatkan dukungan dan pemulihan secara menyeluruh. "Membiarkan korban TPPO bersuara sendiri tanpa pembelaan, sama dengan menutup masa depan mereka," kata Sinta.
Pendekatan yang humanis dan berfokus pada pemulihan trauma sangat penting dalam membantu korban TPPO untuk kembali ke kehidupan normal. Dukungan psikologis dan bantuan hukum menjadi bagian penting dalam proses pemulihan tersebut.
Pemerintah perlu meningkatkan upaya pencegahan, penegakan hukum, dan perlindungan korban TPPO. Edukasi publik, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, dan kerja sama antar lembaga menjadi kunci dalam mengatasi masalah ini.
Lebih lanjut, Sinta juga menyoroti pentingnya peran masyarakat dalam mencegah TPPO. Meningkatkan kewaspadaan dan literasi masyarakat terkait modus operandi TPPO sangat penting untuk melindungi diri dan orang-orang di sekitar kita. Saling mengingatkan dan melaporkan setiap kecurigaan akan kasus TPPO juga menjadi bagian dari upaya kolektif dalam memberantas kejahatan ini.