Tancap Gas Diplomasi Luar Negeri Prabowo Sambut 80 Tahun Kemerdekaan RI: Meneruskan Jejak Pendiri Bangsa
Menjelang 80 tahun kemerdekaan, Presiden Prabowo Subianto tancap gas dalam diplomasi luar negeri, menegaskan kembali prinsip bebas aktif Indonesia di panggung global.

Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa ini dihadapkan pada dinamika global yang penuh ketegangan dan konflik geopolitik. Momentum ini menjadi refleksi penting untuk mengukur sejauh mana Indonesia telah melaju di kancah internasional. Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa salah satu landasan dan tujuan negara adalah turut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Filosofi politik luar negeri Indonesia telah lama berakar pada pemikiran para pendiri bangsa. Presiden pertama Soekarno mengobarkan semangat anti-imperialisme, yang kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok (GNB). GNB menjadi forum penting bagi Indonesia untuk menyuarakan multilateralisme serta penghormatan terhadap hukum internasional. Wakil Presiden pertama Mohammad Hatta juga gencar menyuarakan prinsip bebas aktif melalui pidato bersejarahnya pada September 1948, yang dikenal sebagai “Mendayung di antara Dua Karang”.
Prinsip bebas aktif ini menggarisbawahi kemandirian Indonesia untuk tidak terpengaruh oleh pihak mana pun, sekaligus aktif berkontribusi pada perdamaian dunia dan menjalin persahabatan dengan segala bangsa. Landasan ini menjadi pijakan utama bagi Presiden ke-8 Prabowo Subianto dalam menjalankan politik luar negeri. Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, Prabowo langsung menunjukkan akselerasi diplomasi yang signifikan, menandai komitmennya terhadap peran Indonesia di kancah global.
Akselerasi Diplomasi Prabowo di Panggung Global
Sejak awal masa jabatannya, Presiden Prabowo Subianto langsung tancap gas dalam melakukan safari diplomatik. Kunjungan perdananya menyasar dua kekuatan besar dunia, yaitu Beijing, China, pada 8-9 November 2024, dilanjutkan dengan kunjungan ke Washington DC, Amerika Serikat, pada 10-12 November 2024. Ini menunjukkan prioritasnya dalam menjalin hubungan strategis dengan negara-negara berpengaruh.
Tidak hanya itu, Presiden Prabowo juga aktif mengikuti berbagai forum penting dunia. Ia hadir dalam APEC Economic Leaders’ Meeting di Peru, G20 Summit di Brasil, dan KTT Developing 8 di Mesir. Kunjungan kerja ke Belgia pada 12 Juli lalu menjadi negara terakhir yang disambangi Prabowo sejauh ini, menandakan jangkauan diplomasi yang luas.
Salah satu lawatan penting yang patut disoroti adalah kehadirannya di KTT BRICS ke-17 di Rio de Janeiro, Brasil. Kehadiran ini menandai keikutsertaan Indonesia pasca-resmi menjadi anggota penuh BRICS pada Januari 2025. Dalam pidato kenegaraan pertamanya, Prabowo menegaskan, “Kami tegakkan kedaulatan Indonesia di panggung dunia. Kami putuskan Indonesia bergabung dengan BRICS,” menunjukkan arah kebijakan luar negeri yang berani dan strategis.
Keberhasilan diplomasi ekonomi juga menjadi sorotan, terutama rampungnya perundingan dagang dengan Uni Eropa, yakni Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Perundingan yang memakan waktu hampir sembilan tahun sejak April 2016 ini diharapkan akan ditandatangani pada tahun 2025. Melalui IEU-CEPA, sekitar 80 persen pos tarif akan menjadi nol, membuka peluang perdagangan dan investasi yang lebih luas bagi kedua belah pihak.
Konsistensi dengan Amanat Konstitusi dan Tantangan
Kebijakan luar negeri yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan konsistensi dengan amanat konstitusi dan rancang bangun para pendiri bangsa. Profesor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad), Teuku Rezasyah, memuji konsistensi ini, terutama dalam mengamalkan nilai-nilai luhur konstitusi untuk tujuan nasional yang berkesinambungan. Kehadiran Prabowo sebagai tamu kehormatan pada Perayaan Ke-76 Hari Republik India dan Hari Bastille di Prancis, di mana prajurit TNI dan Polri turut defile, menjadi bukti peningkatan martabat bangsa di mata dunia.
Prabowo juga secara langsung mempraktikkan tujuan nasional bagi perdamaian dunia dengan memimpin pembahasan pengakuan Negara Palestina dan komitmen pengiriman 800 ton bantuan kemanusiaan untuk warga Gaza. Ia menegaskan kembali politik seribu kawan terlalu sedikit satu lawan terlalu banyak, serta prinsip non-blok. “Kami tidak akan berpihak kepada blok manapun. Ini kami sampaikan di mana-mana, bebas aktif, kita ingin damai dengan semua orang,” ujarnya.
Meski demikian, mode tancap gas diplomasi Prabowo juga memicu perbandingan dengan pendahulunya, Joko Widodo. Direktur China-Indonesia di Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Zulfikar Rakhmat, mencatat bahwa Prabowo tampak lebih vokal dan politis pada isu geopolitik dan kemanusiaan, sementara Jokowi cenderung fokus pada diplomasi ekonomi pragmatis. Ketidakhadiran Prabowo pada Konferensi Tingkat Tinggi Group of Seven (G7) di Kanada pada Juni lalu juga sempat dikritisi, dikhawatirkan disalahartikan sebagai kecondongan Indonesia terhadap salah satu blok.
Terlepas dari perbandingan, Teuku Rezasyah mengakui bekal intelektual dan manajerial Prabowo yang memadai dalam menjalankan diplomasi aktifnya. Keberhasilan ini, menurutnya, tidak terlepas dari fondasi yang telah dibangun oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya. Menggelorakan prinsip bebas aktif, Indonesia berkewajiban menjalin kerja sama lintas benua tanpa mempersoalkan sistem politik dan ideologi. Sebagai negara kekuatan menengah yang berkualitas, Indonesia dituntut mampu membangun negerinya sendiri sembari bersinergi dengan negara-negara yang menjunjung perdamaian dunia.