Terungkap: Pemkot Malang Pastikan Tak Ada Kenaikan Tarif PBB di Tahun 2025 Meskipun Ada Perubahan Skema
Pemerintah Kota Malang menegaskan tidak akan ada kenaikan tarif PBB bagi masyarakat pada tahun 2025, meskipun ada perubahan skema tarif. Mengapa demikian?

Pemerintah Kota (Pemkot) Malang secara resmi menegaskan bahwa tidak akan ada kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi masyarakat pada periode tahun 2025. Kepastian ini disampaikan langsung oleh Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang, Handi Priyanto, di Kota Malang, Jawa Timur. Pernyataan ini bertujuan menepis kekhawatiran publik terkait potensi lonjakan PBB.
Handi Priyanto menjelaskan bahwa keputusan ini didasarkan pada target penerimaan PBB yang telah ditetapkan. Target untuk tahun ini dan tahun 2026 tetap sama, yakni sebesar Rp73 miliar. Angka target yang tidak berubah ini menjadi indikator utama bahwa tidak ada rencana untuk menaikkan besaran tarif PBB.
Penegasan ini muncul sebagai respons terhadap isu yang beredar mengenai kenaikan PBB. Isu tersebut mencuat pasca terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Perda ini merupakan hasil perubahan dari Perda Nomor 4 Tahun 2023.
Penegasan Pemkot Malang dan Stabilitas Target PBB
Kepala Bapenda Kota Malang, Handi Priyanto, secara lugas menyatakan, "Tidak ada kenaikan tarif, target sekarang itu Rp73 miliar dan tahun depan juga sama, Rp73 miliar." Pernyataan ini menggarisbawahi komitmen pemerintah daerah untuk menjaga stabilitas beban pajak masyarakat. Handi juga mempertanyakan logika di balik isu kenaikan tarif jika target penerimaan tidak berubah.
Isu kenaikan PBB sempat menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Hal ini dipicu oleh adanya penyesuaian tarif yang termuat dalam Perda Nomor 1 Tahun 2025. Perda tersebut merupakan revisi dari Perda Nomor 4 Tahun 2023. Namun, Handi memastikan bahwa perubahan regulasi ini tidak serta-merta berarti kenaikan tarif PBB.
Stabilitas target penerimaan PBB menjadi kunci utama dalam kebijakan ini. Dengan target yang konsisten, Pemkot Malang berupaya untuk tidak membebani masyarakat dengan peningkatan tarif. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki proyeksi pendapatan yang realistis dan terukur.
Perubahan Skema Tarif dan Dampaknya pada PBB
Sebelum Perda Nomor 1 Tahun 2025, Perda Nomor 4 Tahun 2023 mengklasifikasikan tarif PBB menjadi empat kategori. Klasifikasi ini didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Tarif terendah sebesar 0,055 persen berlaku untuk NJOP maksimal Rp1,5 miliar, sedangkan tarif tertinggi 0,167 persen untuk NJOP di atas Rp100 miliar.
Perda Nomor 1 Tahun 2025 mengubah skema tarif PBB menjadi tunggal, yakni sebesar 0,2 persen. Meskipun terlihat ada peningkatan persentase, Handi Priyanto menegaskan bahwa pemberlakuan tarif tunggal ini tidak serta-merta memicu lonjakan PBB. "Tidak menyentuh sama sekali, maka dari itu target PBB untuk tahun depan tetap sama," jelasnya.
Perubahan skema ini lebih kepada penyederhanaan administrasi dan penyesuaian regulasi. Pemerintah daerah memastikan bahwa perhitungan akhir yang dibebankan kepada masyarakat tidak akan mengalami kenaikan signifikan. Hal ini penting untuk menjaga daya beli dan stabilitas ekonomi warga.
Kewenangan Kepala Daerah dan Potensi Pendapatan Asli Daerah
Handi Priyanto juga menekankan bahwa kewenangan untuk meningkatkan besaran PBB berada di tangan kepala daerah. Namun, ia memastikan bahwa Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat, sama sekali tidak memiliki rencana untuk menaikkan PBB. Ini menunjukkan komitmen pimpinan daerah untuk tidak menambah beban pajak masyarakat.
Bahkan, Handi menyebutkan bahwa Perda PDRD yang baru ini justru berpotensi menurunkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor lain. Salah satunya adalah Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) Makanan dan Minuman. Minimal omzet yang dikenakan pajak ini dinaikkan dari Rp5 juta menjadi Rp15 juta.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa Pemkot Malang lebih fokus pada penyesuaian regulasi yang berpihak pada pelaku usaha kecil dan menengah. Meskipun ada potensi penurunan PAD dari sektor tertentu, pemerintah tetap memprioritaskan keringanan bagi masyarakat dan pelaku ekonomi.