UI Dorong Bangun Bangsa Lewat Kearifan Lokal: Inovasi Sosial sebagai Kunci
Guru Besar UI, Prof. Retno, mengajak membangun bangsa dengan memanfaatkan kearifan lokal melalui inovasi sosial yang berkelanjutan, mengingat potensi Indonesia yang besar dalam hal ini.

Guru Besar Tetap bidang Ilmu Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia (UI), Prof. Retno Kusumastuti Hardjono, menyerukan pembangunan bangsa dengan memanfaatkan kearifan lokal. Seruan ini disampaikan di kampus UI, Depok, Jumat (25/4), menekankan pentingnya inovasi sosial sebagai kunci kemajuan Indonesia. Prof. Retno menjelaskan bahwa inovasi sosial di Indonesia tak lepas dari kearifan lokal, menciptakan praktik baru yang memperkuat kohesi sosial dan keberagaman.
Konsep 'Indonesia's Renaissance', menurut Prof. Retno, menggambarkan kebangkitan nilai sosial dan budaya dalam bentuk gagasan inovatif. Gagasan ini mendorong transformasi lintas sektoral dan multidisiplin. Ia menambahkan bahwa inovasi sosial merupakan kreativitas manusia dalam menjawab tantangan, solusi adaptif untuk membangun masa depan yang lebih adil, sejahtera, dan tangguh. Inovasi ini, yang sering disebut Indigenous Social Innovation atau Social Cultural Innovation, menunjukkan pergeseran dari pendekatan negara ke partisipasi masyarakat yang aktif.
Prof. Retno menekankan pentingnya inovasi sosial sebagai strategi adaptif bagi masyarakat Indonesia. Menurutnya, inovasi sosial dan budaya bersifat lintas sektor dan multidisiplin, seringkali muncul dari interaksi sektor publik, swasta, dan masyarakat, menghasilkan bentuk-bentuk seperti social enterprise dan kemitraan publik-swasta. Keberhasilan inovasi sosial, menurut berbagai literatur, ditentukan oleh empat faktor utama: dukungan kebijakan, pendanaan, partisipasi masyarakat, dan semangat kewirausahaan. Keempat faktor ini saling berkaitan dan memengaruhi efektivitas inovasi sosial.
Inovasi Sosial di Indonesia: Potensi dan Tantangan
Indonesia, yang menempati peringkat 18 dari 45 negara dalam hal kapasitas inovasi sosial, memiliki potensi yang besar. Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah masalah pendanaan. Penelitian Prof. Retno menunjukkan bahwa inovasi sosial di abad ke-21 memiliki ciri khas: bottom-up, berbasis lokal, kolaboratif, membentuk community of innovation, dan menggunakan model hybrid yang tidak hanya mengejar keuntungan (profit seeking) tetapi juga berbasis kemanusiaan. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi sosial tumbuh dari budaya dan kebutuhan masyarakat.
Prof. Retno mencontohkan beberapa inovasi sosial-budaya di Indonesia, seperti sistem irigasi Subak di Bali, penggunaan teknologi elektronik dalam pertunjukan wayang di Yogyakarta, pemberdayaan perempuan di daerah Dayak, dan kain tenun dari berbagai wilayah di Indonesia. Semua contoh tersebut menunjukkan kekuatan lokal yang menjadi ciri khas dan keunggulan bersaing.
Untuk keberlanjutan inovasi ini, Prof. Retno menyarankan pendekatan system thinking yang menciptakan siklus belajar. Inovasi sosial, menurutnya, harus berkelanjutan dan menjawab kebutuhan jangka panjang dengan memperhatikan tiga aspek: people (manusia dan keadilan sosial), planet (lingkungan hidup), dan profit (ketahanan ekonomi).
Empat Pendekatan Inovasi Sosial
Prof. Retno juga menjelaskan empat pendekatan inovasi sosial: berbasis manusia, berbasis lokasi, didorong kemitraan, dan kepedulian lingkungan. Keempat pendekatan ini saling melengkapi dan penting untuk menciptakan inovasi sosial yang berdampak luas dan berkelanjutan di Indonesia. Dengan menggabungkan kearifan lokal dan pendekatan-pendekatan ini, Indonesia dapat membangun masa depan yang lebih baik.
Kesimpulannya, upaya membangun bangsa dengan memanfaatkan kearifan lokal melalui inovasi sosial merupakan langkah strategis. Dengan memperhatikan potensi, tantangan, dan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.