Pesona Batik Pesisir Jawa Utara dan Kebaya Peranakan: Perpaduan Budaya yang Memukau
Artikel ini mengupas pesona Batik Pesisir dari Jawa Utara dan kebaya peranakan, hasil akulturasi budaya Indonesia dengan budaya asing seperti Tionghoa, India, dan Arab, yang kini semakin populer.

Batik pesisir, hasil perpaduan budaya Indonesia dan pengaruh luar, menjadi sorotan. Lahir di pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Indramayu, Lasem, dan Pekalongan, batik ini berbeda dengan batik Solo dan Yogyakarta. Munculnya batik pesisir tak lepas dari peran para peranakan dari berbagai negara yang datang ke Nusantara sekitar abad ke-15 dan 16.
Akulturasi Budaya dalam Batik Pesisir
Ketua Umum Himpunan Wastraprema, Neneng Iskandar, menjelaskan dalam acara "Wastra Bercerita" di Museum Tekstil Jakarta, bahwa para peranakan Tionghoa, India, Belanda, dan Arab turut andil dalam perkembangan batik pesisir. Mereka menciptakan sarung dan kebaya sendiri, dan batik pesisir pun berkembang pesat sekitar abad ke-19.
Neneng menambahkan, "Batik Pesisir lebih diutamakan sebagai barang ekonomi yang diperdagangkan, dan baru berkembang luas sekitar abad 19 yang diakibatkan adanya kemunduran produksi tekstil dari India yang saat itu menjadi produsen kain terbesar yang dijual ke pulau Jawa."
Ragam motif batik pesisir sangat kaya, mencerminkan akulturasi budaya. Motif naga, kapal, kaligrafi, dan motif lingkungan pesisir menunjukkan pengaruh budaya Tionghoa, India, Arab, dan budaya Sumatera. Ini menunjukkan betapa kaya dan beragamnya pengaruh budaya yang membentuk batik pesisir.
Kebaya Peranakan: Perpaduan Gaya dan Budaya
Perancang busana Didi Budiardjo menjelaskan bahwa batik pesisir sering dipadukan dengan kebaya peranakan. Kebaya ini, umumnya dikenakan perempuan Eropa atau Tionghoa, kini semakin populer sebagai mode masa kini.
Didi menjelaskan, "Asimilasi budaya Tionghoa-Indonesia melahirkan kebaya peranakan. Kebaya peranakan terus berkembang tanpa meninggalkan pakem yang ada."
Ia menambahkan, kebaya encim, yang dulunya disebut kebaya nyonya, sangat marak pada tahun 1930-an. Warna putih dihindari, kecuali setelah kematian kerabat dekat, karena bagi masyarakat Tionghoa, putih melambangkan kematian. Namun, sejak runtuhnya kekaisaran Tiongkok pada tahun 1911, orang Tionghoa mulai meniru gaya berpakaian Eropa-Belanda.
Para nyonya Tionghoa kemudian memodifikasi kebaya noni Belanda—yang terbuat dari katun tipis berpotongan pendek—dengan menambahkan potongan, bahan, warna, border, dan aksesoris khas Tionghoa. Inilah evolusi kebaya peranakan yang kita lihat hingga saat ini.
Pameran Batik Pesisir di Museum Tekstil Jakarta
Sebagai penutup, acara "Wastra Bercerita" juga menampilkan pameran lebih dari 100 helai batik pesisir koleksi Museum Tekstil Jakarta, yang dibuat sekitar tahun 1900 dan merupakan sumbangan Ibu Eiko Adnan. Pameran ini memperlihatkan keindahan dan kekayaan warisan budaya Indonesia, khususnya batik pesisir dan kebaya peranakan.
Kesimpulannya, batik pesisir dan kebaya peranakan merupakan bukti nyata akulturasi budaya yang menghasilkan karya seni dan mode yang memukau. Perpaduan budaya Indonesia dengan budaya asing telah menciptakan warisan budaya yang kaya dan terus berkembang hingga saat ini. Semoga warisan budaya ini tetap lestari dan terus dijaga kelangsungannya.