Akademisi: Hindari Narasi Perpecahan Terkait Konflik India-Pakistan
Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon mengimbau penghentian narasi perpecahan yang dipicu konflik India-Pakistan, karena dapat memicu radikalisasi dan menghambat upaya perdamaian.
Jakarta, 15 Mei 2024 (ANTARA) - Konflik antara India dan Pakistan kembali menjadi sorotan, dan imbasnya, muncul narasi-narasi yang berpotensi memecah belah. Hal ini mendapat perhatian serius dari Prof. Didin Nurul Rosidin, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Beliau menekankan pentingnya menghindari narasi-narasi yang dapat memicu perpecahan di tengah masyarakat.
Menurut Prof. Didin, konflik berkepanjangan antara kedua negara tersebut merupakan akumulasi dari berbagai permasalahan kompleks yang belum terselesaikan, meliputi isu politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Beliau menyayangkan adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk menyebarkan narasi yang menyesatkan, seolah-olah konflik tersebut merupakan “nubuat” perang antara umat Islam (Pakistan) dan orang-orang kafir (India) di akhir zaman.
“Narasi semacam ini sangat berbahaya,” tegas Prof. Didin dalam keterangan tertulisnya. “Ia cenderung menimbulkan polarisasi tajam, memicu radikalisasi, dan menggerus upaya perdamaian serta diplomasi yang sangat krusial untuk mencegah eskalasi konflik, bahkan hingga ke level nuklir, di kawasan Asia Selatan.”
Bahaya Narasi Perang Akhir Zaman
Prof. Didin menjelaskan bahwa pandangan apokaliptik yang mengaitkan konflik India-Pakistan dengan “perang akhir zaman” tidak hanya keliru secara historis, tetapi juga sangat berbahaya secara sosial dan politik. Narasi tersebut memberikan gambaran yang menyederhanakan konflik yang sebenarnya memiliki akar masalah yang jauh lebih kompleks dan spesifik, baik dari segi sejarah maupun geopolitik.
Lebih lanjut, beliau menilai bahwa penggunaan retorika akhir zaman hanya akan memperkuat false moral clarity, yaitu keyakinan keliru bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan yang benar. Hal ini seringkali dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis untuk merekrut anggota baru.
Selain itu, narasi tersebut juga meningkatkan risiko tindakan kekerasan spontan (lone wolf). Individu yang terpengaruh narasi tersebut mungkin merasa mendapatkan “panggilan ilahi” untuk bertindak sebelum “akhir zaman tiba.”
Prof. Didin dengan tegas menyatakan bahwa narasi “perang akhir zaman antara Islam dan kafir” yang dikaitkan dengan konflik India-Pakistan adalah keliru dan bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dasar negara Indonesia.
Indonesia: Contoh Keberagaman dan Kerukunan
Prof. Didin mengkritik pihak-pihak yang mencoba menyamakan kondisi Indonesia dengan konflik India-Pakistan. Beliau menekankan bahwa setiap bangsa dan negara memiliki konteks sejarah dan dinamika sosial yang unik dan kompleks. Peristiwa-peristiwa historis tidak bisa disamakan begitu saja.
Sebagai contoh, beliau menyinggung peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa tersebut menunjukkan bagaimana berbagai elemen bangsa, dengan latar belakang agama dan kepercayaan yang berbeda, bersatu dalam visi dan misi kemerdekaan Indonesia.
Beliau juga mencontohkan kolaborasi lintas iman dalam perjuangan kemerdekaan dan perang revolusi. Bahkan, terdapat tokoh-tokoh Muslim yang berpihak kepada Belanda, seperti Sultan Hamid II dari Kalimantan. Di sisi lain, terdapat pula tokoh non-Muslim seperti Johannes Leimena yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Dari contoh-contoh tersebut, Prof. Didin menyimpulkan bahwa Indonesia dibangun atas dasar keberagaman, bukan hanya budaya, tetapi juga keimanan. Menggunakan agama untuk merusak kerukunan dan kedamaian adalah tindakan yang menyimpang dari misi agama itu sendiri.
Kesimpulannya, Prof. Didin menyerukan agar masyarakat menghindari narasi-narasi yang memecah belah dan fokus pada upaya perdamaian dan persatuan. Konflik India-Pakistan harus dilihat dalam konteksnya sendiri, tanpa dikaitkan dengan narasi-narasi yang menyesatkan dan berbahaya.