APNI Usul CSR dan Riset, Bukan Lahan Tambang untuk Kampus
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengusulkan kerja sama CSR dan riset dengan kampus, bukan memberikan lahan tambang yang berisiko tinggi dan membutuhkan keahlian khusus.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menawarkan alternatif pendanaan bagi perguruan tinggi. Alih-alih memberikan lahan tambang, APNI mengusulkan kerja sama melalui dana corporate social responsibility (CSR) atau proyek riset. Pernyataan ini disampaikan usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi DPR terkait revisi UU Minerba di Jakarta, Rabu (22/1).
Menurut Meidy, pengelolaan lahan tambang memiliki risiko, membutuhkan modal, dan keahlian tinggi. Oleh karena itu, ia menilai perguruan tinggi kurang memiliki kapabilitas untuk mengelola tambang secara langsung. Kerja sama riset dan CSR dinilai sebagai solusi yang lebih tepat dan saling menguntungkan.
Selain itu, APNI juga memberikan pandangan terkait wacana pemerintah untuk melibatkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam pengelolaan tambang. Meidy menyarankan agar UKM dilibatkan melalui program pemberdayaan masyarakat, bukan diberikan izin langsung mengelola lahan tambang. Ia mengusulkan agar pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) diwajibkan bermitra dengan UKM lokal, misalnya dengan ketentuan setiap 100 hektare lahan tambang harus menggandeng UKM.
Meidy meragukan kemampuan pengusaha lokal dalam mengelola tambang secara mandiri. Kerja sama dengan pemegang IUP yang sudah berpengalaman, menurutnya, akan lebih menguntungkan baik bagi masyarakat lokal maupun perusahaan tambang. Ia meyakini model ini akan lebih efektif dan efisien.
Sebelumnya, DPR menyetujui revisi UU Minerba sebagai usul inisiatif DPR pada Selasa (21/1). Revisi UU Minerba perubahan keempat ini bersifat kumulatif terbuka, menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah beberapa kali menguji UU Minerba.
Selain menindaklanjuti putusan MK, DPR juga menambahkan substansi baru dalam draf RUU Minerba. Salah satu perubahannya adalah pada Pasal 51, yang menambahkan frasa “atau dengan cara pemberian prioritas” untuk mengatur pemberian prioritas kepada UKM. Pasal 51A yang baru juga mengatur peluang perguruan tinggi untuk terlibat dalam pengelolaan tambang, namun dengan skema yang berbeda dari pemberian lahan secara langsung.
Kesimpulannya, APNI mendorong kolaborasi yang saling menguntungkan antara sektor pertambangan dengan perguruan tinggi dan UKM. Alih-alih memberikan akses langsung ke lahan tambang yang berisiko tinggi, APNI memprioritaskan skema CSR, riset, dan pemberdayaan masyarakat sebagai jalan yang lebih efektif dan berkelanjutan.