Bandung Zoo: Korban Kriminalisasi atau Pelanggar Hukum? Kuasa Hukum Buka Suara
Kuasa hukum Bandung Zoo menyatakan kliennya menjadi korban kriminalisasi terkait sengketa lahan, menantang proses hukum yang dinilai prematur dan melanggar KUHAP, sementara aktivis masyarakat berharap penyelesaian yang adil.
Bandung, 18 Februari 2024 - Polemik kepemilikan lahan Bandung Zoo memasuki babak baru. Kuasa hukum Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), Idrus Mony, secara tegas menyatakan bahwa kliennya, pengelola Bandung Zoo, menjadi korban kriminalisasi menyusul penetapan tersangka Bisma dan Sri oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat.
Pernyataan ini disampaikan Idrus menanggapi penetapan tersangka tersebut. Ia menekankan bahwa sengketa lahan masih berproses di ranah perdata. Idrus mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021, yang mengatur pengakuan hak milik atas tanah yang telah dikuasai selama 20-30 tahun dengan itikad baik. Menurutnya, hal ini menjadi dasar klaim Bandung Zoo atas lahan tersebut.
Proses Hukum yang Dipertanyakan
Idrus mempertanyakan penegakan hukum dalam kasus ini. Ia menilai penetapan tersangka dilakukan secara terburu-buru sebelum ada putusan hukum tetap (inkrah) terkait kepemilikan lahan. Lebih jauh, Idrus menyoroti aspek konservasi hewan dan fungsi edukasi Bandung Zoo bagi masyarakat Bandung, yang seharusnya dipertimbangkan sebelum kasus ini dibawa ke ranah pidana.
Ia juga mengkritik prosedur yang dilakukan Kejati Jawa Barat, khususnya Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus), yang dianggapnya menyalahi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Idrus bahkan meminta Jaksa Agung untuk turun tangan guna mengawasi jalannya perkara dan mencegah penyimpangan hukum.
“Kami berharap, bukan saja dari Kejaksaan Agung tetapi dimonitor juga oleh lembaga hukum supaya peristiwa ini tidak terjadi di kemudian hari yang kemudian menjadi paradigma negatif dan menciptakan preseden yang buruk terhadap penegakan hukum di negara NKRI ini,” tegas Idrus.
Pandangan Aktivis Masyarakat
Dindin, aktivis Majelis Masyarakat Sunda (MMS), turut menyoroti kasus ini. Ia mengungkapkan keprihatinan atas lamanya sengketa lahan Bandung Zoo dan penahanan Ketua Pengurus dan Ketua Pembina YMT.
Dindin juga memberikan konteks historis kepemilikan lahan Bandung Zoo, yang telah ada sejak 1933 di bawah kepemilikan orang Belanda, Hoogland, dan beberapa warga pribumi, termasuk R. Ema Bratakoesoema. Ia menjelaskan bahwa pengelolaan kebun binatang kemudian dialihkan kepada YMT, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Sunda yang terhormat.
“Yayasan Margasatwa Tamansari ini dikelola oleh orang-orang terhormat dari kalangan kesundaan. Jadi, tolonglah selesaikan persoalan ini dengan baik, kesampingkan hal-hal yang menyangkut pribadi,” pinta Dindin.
Kesimpulan
Kasus Bandung Zoo menyoroti kompleksitas sengketa lahan dan penegakan hukum di Indonesia. Pernyataan kuasa hukum yang menyebut kliennya sebagai korban kriminalisasi, diiringi kritik terhadap proses hukum yang dinilai prematur dan tidak sesuai prosedur, menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan dan transparansi dalam penanganan kasus ini. Pernyataan dari aktivis masyarakat semakin mempertegas pentingnya penyelesaian yang adil dan bijaksana, dengan mempertimbangkan aspek historis dan kepentingan publik.