Budayawan Banyumas Serukan Aksi Penyelamatan Gunung Slamet
Budayawan dan pegiat lingkungan di Banyumas menyerukan penyelamatan Gunung Slamet dari kerusakan akibat alih fungsi lahan, ditandai dengan penanaman pohon dan kampanye penetapan sebagai taman nasional.
Banyumas, 18 Mei 2024 - Kerusakan Gunung Slamet akibat alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian telah mendorong sejumlah budayawan, seniman, dan pegiat lingkungan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, untuk menyerukan aksi penyelamatan. Aksi ini diwujudkan melalui penanaman ratusan bibit pohon di lereng selatan Gunung Slamet, Dusun Sirongge, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, pada Minggu lalu. Inisiatif ini digagas oleh Yayasan Dhalang Nawan sebagai bentuk keprihatinan atas kerusakan lingkungan yang terjadi.
Ketua Yayasan Dhalang Nawan, Bambang Barata Aji, menjelaskan bahwa kegiatan penanaman pohon tersebut merupakan simbol dari upaya konservasi dan pelestarian Gunung Slamet. "Ini memang bentuknya menanam pohon, tapi tujuannya, niat kami adalah niat untuk konservasi, niat untuk menjaga kehidupan terutama di lereng Gunung Slamet," ujarnya. Kerusakan Gunung Slamet, menurut Bambang, disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pembukaan hutan untuk proyek PLTB yang gagal dan konversi lahan hutan menjadi perkebunan kentang di sisi barat gunung.
Gerakan penyelamatan Gunung Slamet ini juga menyerukan penetapan gunung tersebut sebagai taman nasional. Meskipun ada kekhawatiran bahwa status taman nasional tidak menjamin terhentinya kerusakan akibat kerja sama pengelola dengan pemodal besar, Bambang menegaskan komitmen untuk mengawal proses tersebut agar sesuai ketentuan dan melindungi kelestarian Gunung Slamet. "Kami itu orang yang lahir di lereng Gunung Slamet, sehingga harus bersyukur dan punya rasa tanggung jawab untuk kelestarian gunung yang telah memberikan berkah kehidupan yang luar biasa. Jadi, gerakan sebenarnya adalah seruan untuk konservasi," tegasnya.
Upaya Konservasi dan Pelestarian Budaya Lokal
Titut Edi Purwanto, seorang budayawan Banyumas, menambahkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal dalam mengelola alam, seperti mengatur tata musim dan pola tanam. "Bahkan itu sebuah kekuatan bahwa budaya yang ada adalah budaya agraris di mana kita harus punya kewajiban menurunkan kecerdasan ini kepada anak cucu untuk menjaga lingkungan dan menjaga alamnya agar kehidupan tetap stabil dan seimbang dalam konteks indahnya berbagi rasa, indahnya kebersamaan. Jadi kita punya kewajiban menjaga bumi pertiwi," katanya. Beliau menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam sebagai warisan bagi generasi mendatang.
Penanaman pohon tahunan seperti Nagasari dan Beringin di Karangtengah, desa di lereng Gunung Slamet, merupakan wujud nyata dari seruan konservasi ini. Titut juga melihat aksi penanaman pohon sebagai amal jariah yang berkelanjutan: "Hari ini sebuah bentuk kemuliaan di mana saudara-saudaraku kumpul di sini, menanam pohon tahunan sebagai amal jariah walaupun si penanam sudah mati, kalau pohon itu masih hidup menjadi amal jariah yang tetap hidup si penanam itu sendiri karena memberikan keindahan, udara yang segar."
Ketua Presidium Gunung Slamet Menuju Taman Nasional, Andi Rustono, menambahkan bahwa penurunan debit air dari sumber mata air di Gunung Slamet menjadi indikator nyata kerusakan lingkungan. Ia menekankan pentingnya aksi lanjutan setelah penanaman pohon untuk memastikan kelestarian Gunung Slamet. "Tolonglah, kalau memang Gunung Slamet dianggap rusak, tolong jangan bertambah rusak. Kita tidak akan mengganggu kelanjutan pariwisata, tapi dalam konteks Gunung Slamet untuk menjadi taman nasional ini justru kita saling melindungi, saling memelihara," pesannya. Andi berharap kawasan hutan lindung di Gunung Slamet dapat dipulihkan fungsinya.
Ancaman dan Harapan untuk Gunung Slamet
Pembukaan lahan untuk proyek PLTB yang gagal dan konversi lahan hutan menjadi perkebunan kentang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan di Gunung Slamet. Penurunan debit air dari sumber mata air menjadi bukti nyata dampak negatif dari aktivitas tersebut. Upaya penyelamatan Gunung Slamet membutuhkan aksi nyata dan komitmen bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat.
Penetapan Gunung Slamet sebagai taman nasional diharapkan dapat menjadi solusi untuk melindungi kelestarian lingkungan dan kearifan lokal. Namun, pengawasan ketat diperlukan untuk mencegah potensi eksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Aksi penanaman pohon yang dilakukan oleh budayawan dan pegiat lingkungan merupakan langkah awal yang baik, dan perlu diikuti oleh aksi-aksi nyata lainnya untuk memastikan keberhasilan upaya penyelamatan Gunung Slamet.
Melalui kolaborasi antara budayawan, seniman, pegiat lingkungan, dan pemerintah, diharapkan Gunung Slamet dapat kembali lestari dan memberikan manfaat bagi generasi mendatang. Pelestarian alam tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia.