DPR Usul Tiga Kebijakan Krusial Terkait Wacana Penerapan Payment ID: Apa Saja?
Anggota DPR RI Sarifah Ainun Jariyah mengusulkan tiga kebijakan alternatif terkait wacana Payment ID. Ini poin-poin penting yang perlu diketahui publik.
Jakarta, Anggota Komisi I DPR RI, Sarifah Ainun Jariyah, baru-baru ini mengemukakan tiga alternatif kebijakan penting terkait wacana pemerintah untuk menerapkan Payment ID dalam setiap transaksi digital. Usulan ini muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran publik mengenai implementasi sistem tersebut. Sarifah menekankan pentingnya pendekatan yang mengutamakan perlindungan hak warga negara dalam setiap kebijakan baru.
Kebijakan pertama yang diusulkan adalah perbaikan sistem pajak dengan pemberian kompensasi otomatis kepada wajib pajak. Kedua, penundaan implementasi Payment ID hingga infrastruktur keamanan data benar-benar siap dan mumpuni. Ketiga, usulan penerapan model pelaporan berkala, bukan pelaporan per transaksi, untuk mengurangi beban dan risiko bagi masyarakat.
Sarifah menegaskan bahwa Komisi I DPR akan terus mengawal isu Payment ID ini secara ketat. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga melindungi hak dan privasi warga. Pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan sistem yang adil dan aman bagi seluruh lapisan masyarakat.
Tiga Usulan Kebijakan Payment ID dari DPR
Anggota Komisi I DPR RI, Sarifah Ainun Jariyah, secara spesifik menguraikan tiga poin utama dalam usulan kebijakan Payment ID. Pertama, ia menekankan perlunya perbaikan sistem perpajakan nasional yang disertai dengan pemberian kompensasi otomatis kepada masyarakat. Hal ini meniru praktik di beberapa negara maju yang memberikan insentif nyata, seperti pengembalian pajak (tax refund) sebesar 10-15 persen, sebagai bentuk penghargaan kepada wajib pajak.
Kedua, Sarifah mengusulkan penundaan total penerapan Payment ID hingga infrastruktur keamanan data di Indonesia mencapai tingkat kematangan yang memadai. Menurutnya, kesiapan infrastruktur adalah prasyarat mutlak untuk menghindari potensi kebocoran data dan penyalahgunaan informasi pribadi. Ketiga, politikus dari daerah pemilihan Banten ini menyarankan penerapan model pelaporan berkala, bukan pelaporan per transaksi. Model ini dinilai lebih fleksibel dan tidak terlalu membebani masyarakat, sekaligus tetap memenuhi tujuan pengawasan transaksi.
Sarifah Ainun Jariyah secara tegas menyatakan, "Kita harus belajar dari negara lain. Insentif, bukan paksaan. Perlindungan, bukan eksploitasi." Pernyataan ini menggarisbawahi filosofi di balik usulannya, yaitu bahwa kebijakan pemerintah seharusnya bersifat mendukung dan melindungi rakyat, bukan sebaliknya.
Alasan Kuat di Balik Usulan DPR
Usulan Sarifah Ainun Jariyah didasari oleh beberapa alasan krusial yang berkaitan dengan kondisi perpajakan dan infrastruktur digital di Indonesia. Pertama, sistem perpajakan Indonesia dinilai belum mampu memberikan insentif yang memadai kepada wajib pajak. Data Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan bahwa hanya sekitar 16,5 juta wajib pajak aktif dari total 275 juta penduduk, mengindikasikan rendahnya partisipasi dan mungkin kurangnya daya tarik insentif.
Kedua, infrastruktur digital Indonesia masih menunjukkan kerentanan yang signifikan terhadap serangan siber dan kebocoran data. Indonesia Data Protection Authority mencatat adanya 3.814 kasus kebocoran data sepanjang tahun 2023-2024. Angka ini menjadi perhatian serius karena penerapan Payment ID akan melibatkan volume data pribadi yang sangat besar, meningkatkan risiko bagi masyarakat.
Ketiga, perlindungan hukum bagi korban kebocoran data di Indonesia dinilai belum memadai. Sebagai contoh, kasus kebocoran data BPJS Kesehatan pada tahun 2023 yang menimpa 279 juta orang, tidak disertai dengan kompensasi yang memadai bagi para korban. Selain itu, laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga mencatat adanya 120 ribu rekening nasabah yang diperjualbelikan di berbagai platform daring, menunjukkan betapa rentannya data finansial masyarakat.
Alasan keempat adalah belum terintegrasinya data KTP dan NPWP di bank. Kondisi ini berpotensi menimbulkan permasalahan baru dalam pelaksanaan Payment ID, termasuk kesulitan dalam verifikasi dan validasi data transaksi. Seluruh poin ini menguatkan argumentasi DPR untuk menunda atau merevisi wacana Payment ID.
Respons Pemerintah dan Komitmen Pengawalan
Kementerian Keuangan sebelumnya telah menyatakan bahwa wacana penerapan Payment ID masih dalam tahap kajian komprehensif. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara khusus menegaskan bahwa setiap kebijakan baru yang akan diterapkan harus mempertimbangkan secara serius aspek perlindungan data pribadi masyarakat. Pernyataan ini menunjukkan adanya kesadaran pemerintah akan pentingnya keamanan data dalam implementasi kebijakan digital.
Meskipun demikian, Komisi I DPR RI, melalui Sarifah Ainun Jariyah, menegaskan komitmennya untuk terus mengawal isu Payment ID ini. Pengawalan ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah benar-benar berpihak pada kepentingan dan perlindungan hak-hak warga negara. Harapannya, kebijakan yang dihasilkan akan menjadi solusi yang seimbang antara kebutuhan pengawasan transaksi dan jaminan keamanan data pribadi.