Ekonom UGM Sarankan MBG Prioritaskan Siswa Kurang Mampu
Ekonom UGM mengusulkan agar Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diprioritaskan untuk siswa kurang mampu demi efektivitas dan efisiensi anggaran negara, serta menyarankan alternatif pendanaan dan pengelolaan yang lebih baik.
Yogyakarta, 11 Maret 2024 - Ekonom Universitas Gadah Mada (UGM), Wisnu Setiadi Nugroho, mengusulkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk memprioritaskan siswa dari keluarga kurang mampu. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas program dan mengurangi beban keuangan negara. Wisnu menyampaikan usulan ini di Yogyakarta pada Selasa lalu, menanggapi kekhawatiran akan pemborosan anggaran jika MBG diterapkan secara universal.
Wisnu menjelaskan bahwa program MBG yang bersifat universal berisiko menimbulkan pemborosan karena anak-anak dari keluarga mampu juga menerima manfaat, meskipun sebenarnya tidak membutuhkannya. Selain itu, pengawasan terhadap kualitas makanan menjadi tantangan tersendiri. "Sulitnya pemantauan terhadap kualitas makanan juga menjadi tantangan tersendiri. Sulit untuk memastikan bahwa setiap makanan yang disajikan benar-benar memenuhi standar gizi dan kualitas yang ditetapkan," ujarnya.
Dengan anggaran yang terbatas, Wisnu menekankan pentingnya pembatasan cakupan program MBG. Ia menyarankan agar fokus utama diarahkan kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu yang benar-benar membutuhkan bantuan gizi tersebut. Hal ini dinilai sebagai langkah yang lebih tepat sasaran dan efektif dalam memanfaatkan anggaran negara.
Alternatif Pendanaan dan Pengelolaan MBG
Sebagai alternatif, Wisnu mengusulkan beberapa opsi, antara lain pemberian subsidi bahan pangan bagi keluarga miskin, voucher makanan, atau pemberian insentif kepada sekolah untuk menyediakan makanan bergizi dengan pendanaan yang lebih fleksibel. Menurutnya, tantangan utama MBG bukan hanya soal anggaran, tetapi juga distribusi dan pengadaan bahan makanan.
Wisnu juga menyarankan pemerintah untuk mempelajari program serupa di negara lain yang telah terbukti efektif. Ia mencontohkan program makan gratis di Amerika Serikat yang mengadopsi skema 'Farm to Table', didanai oleh Sustainable Agriculture Research and Education (SARE), dan melibatkan petani, peternak, pendidik, dan komunitas lokal. "Program ini bertujuan untuk mengembangkan sistem distribusi yang lebih inovatif, memberikan akses terhadap makanan lokal yang bergizi kepada anak sekolah, serta membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi daerah sehingga ongkos logistik lebih murah dan kesejahteraan masyarakat lebih terjamin," jelasnya.
Program 'National School Lunch Program (NSLP)' di AS juga disebut sebagai referensi yang baik. NSLP berfokus pada anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dan memiliki standar gizi ketat sesuai dengan Healthy, Hunger-Free Kids Act (HHFKA) 2010. "Pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung program ini, dengan melibatkan dapur dan pemasok makanan lokal yang terpercaya agar kualitas gizi tetap terjaga," tambah Wisnu.
Ia berharap pendekatan serupa dapat diterapkan di Indonesia agar MBG tidak hanya menjadi kebijakan populis jangka pendek, tetapi memberikan manfaat nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat. Wisnu juga mengingatkan potensi sentralisasi pengelolaan MBG yang dapat menguntungkan vendor besar dan menyingkirkan petani kecil dan UMKM lokal.
Pentingnya Peran Pemerintah Daerah dan Pengawasan
Untuk mengatasi hal tersebut, Wisnu menyarankan pemerintah daerah diberi kewenangan lebih besar dalam pelaksanaan program MBG. Pemerintah daerah dinilai lebih memahami kondisi lokal dan dapat memberdayakan UMKM serta petani kecil dalam penyediaan bahan pangan. Selain itu, pengawasan program perlu diperketat dengan melibatkan audit independen dan partisipasi masyarakat.
Agar program MBG berkelanjutan tanpa merugikan sektor lain, Wisnu menyarankan pemerintah untuk selektif dalam mengalokasikan anggaran. "Alternatif pendanaan mencakup peningkatan efisiensi belanja pemerintah dengan pemangkasan anggaran sebaiknya dilakukan secara hati-hati agar tidak merugikan sektor penting," katanya. Meskipun menuai pro dan kontra, Wisnu tetap melihat potensi positif MBG dalam jangka panjang, terutama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan produktivitas tenaga kerja.
Kesimpulannya, usulan prioritas MBG bagi siswa kurang mampu dan alternatif pengelolaan yang lebih efisien dan partisipatif diharapkan dapat meningkatkan efektivitas program serta memastikan keberlanjutannya dalam jangka panjang. Dengan demikian, manfaat MBG dapat dirasakan secara optimal oleh mereka yang paling membutuhkan.