Ekonomi Indonesia Kokoh, Tak Mudah Terguncang Sentimen Global
Analis menilai ekonomi Indonesia tidak rentan terhadap guncangan perdagangan global, bahkan berpotensi pulih cepat berkat likuiditas global dan depresiasi rupiah.
Jakarta, 8 April 2024 - Head of Research Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menyampaikan optimisme terhadap ketahanan ekonomi domestik Indonesia di tengah guncangan perdagangan global. Ia menilai ekonomi Indonesia tidak terlalu rentan terhadap sentimen negatif global dan bahkan berpotensi pulih dengan cepat, mengikuti pola kurva V. Hal ini didorong oleh masuknya likuiditas global ke dalam negeri.
Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami penurunan hingga 10 persen selama pasar lokal tutup, Satria memperkirakan potensi pemulihan yang signifikan. Ia memprediksi masuknya kembali investor, baik domestik maupun asing, yang memiliki likuiditas tinggi pasca libur panjang Idul Fitri. "Namun, ada kemungkinan pembeli institusional asing dan lokal akan muncul, dengan tingkat cash yang sudah tinggi karena penjualan ekuitas telah meningkat sebelum liburan panjang Idulfitri," ujar Satria dalam laporan risetnya di Jakarta, Selasa.
Analisis ini didasari pada beberapa faktor kunci. Salah satunya adalah kecilnya ketergantungan Indonesia pada ekspor ke Amerika Serikat (AS), yang hanya berkontribusi 2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini merupakan yang terkecil di Asia Tenggara, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand (11 persen) dan Malaysia (10 persen).
Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Guncangan Global
Meskipun AS akan mengenakan pajak 32 persen pada produk Indonesia, Satria menekankan bahwa tarif ini masih tergolong rendah dibandingkan negara pesaing lainnya seperti Bangladesh, Kamboja, Tiongkok, Sri Lanka, dan Vietnam, yang menerapkan bea masuk hingga 37-49 persen. Hal ini, menurutnya, tetap menjaga daya tarik investasi di Indonesia.
Lebih lanjut, Satria menjelaskan, "Mengingat paparan perdagangan yang minimal, Indonesia sebenarnya berada di zona 'Goldilocks' di tengah harga minyak yang lebih rendah, penurunan suku bunga global, dan latar belakang makro di dalam negeri."
Ia juga membandingkan kinerja pasar ekuitas Indonesia dengan negara lain. Negara-negara yang sangat terpapar perdagangan global, seperti Hong Kong, Jepang, Singapura, dan Taiwan, mengalami penurunan yang lebih tajam dalam tiga hari terakhir. Sementara itu, penurunan di pasar negara berkembang seperti India dan Malaysia relatif lebih rendah, kurang dari 8 persen.
Depresiasi Rupiah: Peluang dan Tantangan
Satria mencatat depresiasi rupiah sebesar 11 persen dalam enam bulan terakhir, mencapai Rp17.000 per dolar AS. Namun, ia melihat hal ini sebagai lindung nilai alami terhadap tarif AS dan meningkatkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia. Depresiasi ini terjadi di tengah pelemahan indeks dolar (DXY), dengan sebagian besar mata uang Asia justru mengalami apresiasi.
"Kami pikir mata uang yang dinilai rendah dapat meningkatkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS dan daya tarik ekuitas dan obligasi di kalangan investor asing," kata Satria.
Bahana Sekuritas memprediksi dampak minimal dari tarif AS terhadap laba perusahaan Indonesia, yang sudah berada pada basis rendah untuk estimasi 2025. Bahkan, margin perusahaan-perusahaan di Indonesia berpotensi meningkat karena depresiasi rupiah dan penurunan harga minyak, yang merupakan biaya utama bagi banyak perusahaan di Indonesia.
Prospek Positif dan Pemulihan Cepat
Satria optimistis bahwa pemulihan pasar akan terjadi lebih cepat dari perkiraan, sejalan dengan potensi "kapitulasi" Presiden Donald Trump. Ia memperkirakan pemulihan ini akan lebih dahsyat dibandingkan tahun 2020. "Pandangan kami adalah kapitulasi Presiden Donald Trump akan terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan; sedikit saja tanda-tandanya akan memicu pemulihan pasar yang akan lebih dahsyat daripada tahun 2020," katanya.
Secara keseluruhan, analisis Bahana Sekuritas menunjukkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap guncangan global dan potensi pemulihan yang kuat. Faktor-faktor seperti rendahnya ketergantungan pada ekspor AS, tarif impor yang kompetitif, depresiasi rupiah, dan penurunan harga minyak memberikan landasan yang solid bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.