Eksportir Udang RI Diminta Optimalkan Pasar Jepang dan Eropa, Imbas Tarif AS
Tarif impor AS sebesar 32 persen untuk udang Indonesia mendorong seruan agar eksportir mengoptimalkan pasar Jepang, Eropa, dan negara-negara Asia lainnya.
Amerika Serikat baru-baru ini mengumumkan kebijakan tarif resiprokal sebesar 32 persen untuk impor udang dari Indonesia. Kebijakan ini disampaikan pada 8 April 2024 dan berdampak signifikan pada sektor perikanan Indonesia, khususnya ekspor udang. Hal ini mendorong Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) untuk menyarankan pemerintah dan eksportir agar mengoptimalkan pasar alternatif, terutama di Jepang, China, Malaysia, dan negara-negara Eropa.
Ketua Umum KNTI, Dani Setiawan, dalam pernyataannya di Jakarta mengungkapkan keprihatinan atas dampak kebijakan AS tersebut. Ekspor perikanan Indonesia ke AS pada tahun 2024 mencapai 1,90 miliar dolar AS, atau sekitar 32 persen dari total nilai ekspor perikanan nasional. Kenaikan tarif ini mengancam keberlangsungan ekspor udang Indonesia ke pasar AS yang selama ini cukup signifikan.
"Pemerintah Indonesia juga harus segera mengeksekusi kerja sama perdagangan yang lebih kongkret untuk mengakselerasi ekspor ke pasar Inggris, Belanda, Denmark dan Jerman untuk produk udang olahan," tegas Dani Setiawan. Ia menekankan pentingnya strategi diversifikasi pasar untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan meminimalisir dampak negatif dari kebijakan tarif tersebut.
Optimalisasi Pasar Global untuk Udang Indonesia
Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan ekspor udang olahan ke pasar global. Data Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan bahwa kontribusi Indonesia terhadap kebutuhan pasar global baru mencapai sekitar 12,29 persen. Ini menunjukkan adanya peluang besar untuk perluasan pasar ekspor ke berbagai negara.
Meskipun demikian, Indonesia menghadapi persaingan ketat dari negara-negara lain seperti Ekuador, India, dan Vietnam. Ekuador dan India dikenakan tarif resiprokal yang lebih rendah, masing-masing 10 persen dan 26 persen, sementara Vietnam 46 persen. Dani Setiawan mencatat bahwa Vietnam tampaknya telah mendapatkan kesepakatan yang menguntungkan setelah komunikasi intensif antara Perdana Menteri Vietnam dan Presiden AS Donald Trump beberapa waktu lalu.
Selain tantangan tarif, produk udang Indonesia juga menghadapi isu lain seperti tuduhan dumping dari AS dan penurunan produksi akibat penyakit udang. Hal ini membuat produk udang Indonesia semakin tidak kompetitif di pasar AS. Oleh karena itu, diversifikasi pasar dan peningkatan daya saing menjadi kunci keberhasilan ekspor udang Indonesia ke depan.
Penguatan Industri Pengolahan dan Hilirisasi
Dani Setiawan juga menyoroti pentingnya penguatan industri pengolahan atau hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan Indonesia. Pengembangan industri produk turunan dari komoditas perikanan dan kelautan, yang memiliki potensi pasar besar, harus segera dirancang dan dieksekusi.
"Hal ini dimaksudkan untuk dua hal yaitu menghasilkan nilai tambah yang lebih besar dan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas," ujar Dani. Strategi ini tidak hanya akan meningkatkan daya saing produk udang Indonesia di pasar global, tetapi juga memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional, terutama dalam hal peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja.
Dengan mengoptimalkan pasar ekspor di Jepang, Eropa, dan negara-negara Asia lainnya, serta melakukan penguatan industri pengolahan, Indonesia diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan meningkatkan daya saing produk udangnya di pasar global. Diversifikasi pasar dan hilirisasi menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan tarif impor dari AS dan meningkatkan kesejahteraan nelayan Indonesia.