Hentikan Impor 4 Komoditas Pangan: Tantangan dan Solusi Ketahanan Pangan RI
Ekonom Achmad Nur Hidayat menyoroti potensi dampak negatif penghentian impor beras, jagung, gula, dan garam pada 2025 terhadap stok dan harga pangan di Indonesia, menekankan perlunya strategi holistik untuk ketahanan pangan.
Ekonom Achmad Nur Hidayat dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) mengungkapkan kekhawatirannya terhadap rencana penghentian impor empat komoditas pangan utama – beras, jagung, gula konsumsi, dan garam – mulai tahun 2025. Keputusan ini, disampaikan Achmad pada Jumat lalu, potensial menimbulkan dampak signifikan terhadap ketersediaan dan harga pangan di Indonesia.
Achmad mengapresiasi langkah pemerintah untuk memperkuat kemandirian pangan nasional. Namun, ia mengingatkan pentingnya memperhatikan potensi risiko. Jika impor dihentikan, ketersediaan pangan sepenuhnya bergantung pada produktivitas pertanian dalam negeri. Kegagalan panen akibat cuaca ekstrem, hama, atau kendala distribusi bisa mengakibatkan defisit pasokan yang serius.
Lebih lanjut, Achmad menjelaskan potensi dampak negatif dari kebijakan tersebut. Defisit pasokan berpotensi menimbulkan kelangkaan dan kenaikan harga pangan secara signifikan. Hal ini akan memukul daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah yang mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk makanan. Kenaikan harga juga akan menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha, termasuk UMKM di sektor pengolahan makanan.
Tanpa cadangan impor sebagai penyeimbang, Indonesia akan sangat rentan terhadap guncangan eksternal seperti bencana alam atau perubahan iklim. Ketergantungan penuh pada produksi domestik meningkatkan risiko ketidakstabilan harga dan pasokan. Meskipun kebijakan ini bermaksud baik, keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi yang matang dan dukungan yang kuat terhadap sektor pertanian.
Achmad bahkan menyinggung kekhawatiran akan sifat simbolis kebijakan ini. Jika harga pangan melambung atau stok tak mencukupi, pemerintah mungkin akan kembali membuka keran impor untuk menghindari gejolak sosial dan ekonomi. Ini akan mengikis kredibilitas kebijakan dan menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan Indonesia untuk mencapai kemandirian pangan.
Salah satu tantangan terbesar adalah infrastruktur pertanian dan distribusi yang belum memadai. Banyak daerah penghasil pangan masih kekurangan irigasi, akses jalan, dan teknologi pertanian modern. Petani juga sering menghadapi kesulitan akses terhadap benih berkualitas, pupuk, dan pembiayaan. Semua ini menghambat peningkatan produktivitas.
Untuk mengatasi tantangan ini, Achmad mengusulkan pendekatan yang holistik dan berorientasi pada hasil. Pemerintah perlu mengintegrasikan berbagai strategi, termasuk peningkatan produktivitas pertanian, perbaikan infrastruktur, dan dukungan yang komprehensif bagi petani. Ketahanan pangan yang berkelanjutan membutuhkan komitmen jangka panjang dan bukan hanya kebijakan simbolis.