Jawa Barat Puncaki Laporan Kekerasan Terhadap Perempuan 2024: Mengurai Tantangan dan Kerentanan
Komnas Perempuan merilis data mengejutkan: Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta menjadi provinsi dengan laporan tertinggi kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2024. Apa penyebabnya?
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) baru-baru ini mengungkapkan data yang menyoroti urgensi penanganan isu kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Sepanjang tahun 2024, Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Daerah Khusus Jakarta tercatat sebagai tiga wilayah dengan laporan kekerasan terhadap perempuan tertinggi.
Data ini merupakan hasil sinergi Komnas Perempuan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) serta Forum Pengada Layanan (FPL). Laporan tersebut diseminasi pada Selasa, 19 Agustus 2024, di Jakarta, menunjukkan gambaran komprehensif mengenai situasi kekerasan yang dialami perempuan di berbagai daerah.
Menurut Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Ansor, tingginya angka pelaporan di provinsi-provinsi padat penduduk tersebut bisa mencerminkan akses pelaporan yang lebih baik. Namun, hal ini sekaligus menegaskan kerentanan perempuan di wilayah urban dan padat penduduk yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak.
Peta Kekerasan dan Akses Pelaporan di Indonesia
Pola pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan menunjukkan perbedaan signifikan antara wilayah urban dan daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Di kota-kota besar seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta, infrastruktur dan ketersediaan layanan pendampingan yang lebih memadai memfasilitasi korban untuk melaporkan kasus yang mereka alami.
Sebaliknya, wilayah 3T menghadapi tantangan berat dalam hal akses pelaporan. Keterbatasan infrastruktur, jauhnya jarak menuju layanan pendampingan, serta minimnya dukungan membuat banyak kasus kekerasan tidak terlaporkan. Akibatnya, perempuan korban di daerah-daerah ini seringkali berada dalam kondisi yang sangat rentan dan terisolasi, tanpa mendapatkan perlindungan atau keadilan yang semestinya.
Maria Ulfah Ansor menegaskan bahwa kondisi ini memerlukan strategi penanganan yang berbeda dan terfokus. Peningkatan aksesibilitas layanan serta edukasi mengenai hak-hak perempuan harus menjadi prioritas di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah yang masih minim fasilitas.
Dominasi KDRT dan Kekerasan Seksual: Akar Masalah yang Krusial
Laporan sinergi data kekerasan terhadap perempuan tahun 2024 juga menyoroti jenis kekerasan yang paling dominan. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi masalah serius, dengan lebih dari 7.500 pelaku teridentifikasi. Angka kekerasan seksual bahkan lebih tinggi, mencapai lebih dari 12.000 pelaku, menunjukkan bahwa isu ini masih menjadi ancaman nyata bagi perempuan.
Maria Ulfah Ansor menjelaskan bahwa relasi kuasa yang timpang, ketergantungan ekonomi, serta normalisasi kekerasan merupakan akar dari banyaknya kasus tersebut. Kondisi ini menciptakan lingkungan di mana korban sulit untuk melepaskan diri dari siklus kekerasan. Oleh karena itu, diperlukan sinergi kuat dari berbagai pihak untuk memastikan implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) secara komprehensif dan berpihak pada korban.
Penegakan hukum yang tegas, rehabilitasi bagi korban, serta program pencegahan yang menyasar akar masalah sosial budaya menjadi kunci untuk menekan angka kekerasan ini. Edukasi publik mengenai kesetaraan gender dan hak asasi manusia juga berperan penting dalam mengubah pandangan masyarakat terhadap isu kekerasan.
Perlindungan Berlapis untuk Kelompok Rentan
Laporan Komnas Perempuan juga secara spesifik mencatat kasus kekerasan yang menimpa kelompok perempuan dengan kerentanan berlapis. Mereka adalah individu yang menghadapi tantangan tambahan karena identitas atau kondisi tertentu, membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.
- Penyintas disabilitas
- Perempuan dengan HIV-AIDS
- Pekerja seks
- Pekerja migran
- Pengguna narkoba
- Korban dengan keragaman identitas gender dan seksual
Maria Ulfah Ansor mengakui bahwa jumlah yang tercatat mungkin belum mencerminkan kondisi sesungguhnya, karena banyak korban dari kelompok ini yang masih memilih diam. Namun, kehadiran mereka dalam data ini adalah pengingat penting bahwa perlindungan tidak boleh diskriminatif. Setiap perempuan, tanpa memandang latar belakang atau kondisi, berhak mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Pemerintah dan lembaga terkait diharapkan dapat mengembangkan program yang lebih inklusif dan sensitif terhadap kebutuhan kelompok rentan ini. Pendekatan yang komprehensif, melibatkan layanan kesehatan, hukum, psikologis, dan sosial, sangat krusial untuk memastikan bahwa tidak ada korban yang terlewatkan dalam upaya perlindungan dan pemulihan.