Kajian Nasionalisme Islam Era Awal Orde Baru: MTQ sebagai Simbol Politik dan Integrasi Nasional
Guru Besar UI, Prof. Apipudin, mengkaji peran Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) dalam memperkuat nasionalisme Islam dan integrasi nasional pada era awal Orde Baru pasca G30S/PKI.
Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Prof. Dr. Apipudin, Guru Besar Tetap bidang Sejarah Islam dan Arab FIB UI, melakukan kajian tentang nasionalisme Islam di awal Orde Baru. Kajian ini berfokus pada peran Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) sebagai alat pemersatu bangsa pasca peristiwa G30S/PKI 1965. Kajian tersebut dilakukan di Depok dan dipublikasikan pada 27 Februari. Pemerintah Orde Baru memanfaatkan MTQ untuk memperkuat hubungan dengan komunitas Muslim dan mengintegrasikan Islam ke dalam narasi nasionalisme.
MTQ pertama diselenggarakan pada tahun 1968 di Makassar, mengumpulkan peserta dari seluruh Indonesia. Hal ini merupakan strategi pemerintah Orde Baru untuk merangkul umat Islam setelah peristiwa G30S/PKI yang penuh gejolak. Keberhasilan penyelenggaraan MTQ menunjukkan upaya pemerintah dalam membangun kembali kepercayaan dan persatuan nasional.
Penelitian Prof. Apipudin mengungkap bagaimana MTQ, yang awalnya mungkin dilihat sebagai ajang keagamaan semata, diposisikan sebagai instrumen politik yang efektif. Dengan melibatkan tokoh-tokoh penting dan memanfaatkan media massa seperti RRI, MTQ berhasil menjangkau khalayak luas dan menyampaikan pesan-pesan persatuan dan pembangunan.
MTQ: Dari Ajang Keagamaan Menjadi Simbol Politik Nasional
Menurut Prof. Apipudin, MTQ pertama kali diselenggarakan pada tahun 1968 di Makassar atas prakarsa pemerintah Orde Baru. Penyelenggaraan MTQ ini memiliki makna strategis dalam konteks politik pasca G30S/PKI. Pemerintah saat itu berupaya membangun kembali kepercayaan masyarakat, khususnya umat Islam, setelah peristiwa tersebut.
Menteri Agama K.H. Mohammad Dahlan membuka MTQ pertama dengan membacakan pesan Presiden Suharto. Pesan tersebut menekankan pentingnya dukungan umat Islam terhadap pembangunan nasional berdasarkan ajaran Al-Quran. Hal ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menggabungkan nilai-nilai keagamaan dengan tujuan pembangunan negara.
Pada MTQ kedua di Bandung (1969), Jenderal A.H. Nasution, Ketua MPRS, memberikan pidato yang menekankan pentingnya mengamalkan ajaran Al-Quran, bukan hanya sekadar membacanya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya ingin menampilkan simbol keagamaan, tetapi juga ingin menekankan implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
MTQ ketiga di Banjarmasin (1970) semakin memperkuat peran Islam di ruang publik. Siaran langsung melalui RRI membantu menyebarluaskan pesan-pesan religius MTQ ke seluruh penjuru Indonesia. Partisipasi masyarakat yang luas juga menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam merangkul umat Islam.
MTQ dan Hubungan Internasional: Memperkuat Posisi Indonesia di Kancah Global
Prof. Apipudin juga mencatat peran MTQ dalam hubungan internasional Indonesia. Keikutsertaan Indonesia dalam MTQ internasional di Malaysia, misalnya, memperkuat hubungan bilateral dan menegaskan peran Islam dalam melawan pengaruh komunisme di Asia Tenggara. MTQ menjadi salah satu instrumen diplomasi lunak yang efektif.
Partisipasi dalam MTQ internasional tidak hanya sekadar ajang perlombaan, tetapi juga menjadi platform untuk memperkenalkan budaya dan nilai-nilai Indonesia kepada dunia internasional. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah Orde Baru memanfaatkan MTQ sebagai alat untuk meningkatkan citra Indonesia di mata dunia.
Melalui MTQ, pemerintah Orde Baru berhasil memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah Orde Baru memanfaatkan MTQ sebagai instrumen untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah global.
Kesimpulannya, kajian Prof. Apipudin menyoroti peran strategis MTQ dalam membangun nasionalisme Islam dan integrasi nasional pada era awal Orde Baru. MTQ tidak hanya menjadi ajang keagamaan, tetapi juga simbol politik yang efektif dalam upaya pemerintah untuk merangkul umat Islam dan memperkuat persatuan nasional dalam konteks Perang Dingin.