Kasus Penganiayaan Berat di Bengkulu: Desakan Pasal 355 KUHP untuk Pelaku Anak
Kementerian PPPA mendorong penerapan Pasal 355 KUHP pada kasus penganiayaan berat terhadap pelajar di Bengkulu, yang mengakibatkan korban lumpuh dan menekankan perlunya pertimbangan ancaman hukuman di atas 7 tahun.
JAKARTA, 14 Februari 2025 - Kasus penganiayaan terhadap seorang pelajar berusia 16 tahun, berinisial RA, di Rejang Lebong, Bengkulu, menimbulkan sorotan tajam. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendesak aparat penegak hukum untuk menerapkan Pasal 355 KUHP, terkait penganiayaan yang menyebabkan korban mengalami kelumpuhan dan tidak dapat bersekolah.
Kronologi dan Tuntutan Pasal 355 KUHP
Peristiwa kekerasan yang menimpa RA terjadi pada 21 September 2024. Empat remaja, yang juga masih berusia anak, diduga menjadi pelaku penganiayaan tersebut. Saat ini, mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya adalah pidana paling lama lima tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta, mengingat korban mengalami luka berat.
Namun, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar, menyatakan bahwa Pasal 80 UU Perlindungan Anak dinilai kurang tepat. "Dalam kasus ini seharusnya juga dapat dilapis dengan pasal penganiayaan berat yang direncanakan. Jika unsur Pasal 355 KUHP terpenuhi, ancaman hukumannya 12 tahun penjara, sehingga tidak dapat didiversi karena ancaman hukumannya di atas 7 tahun," tegas Nahar dalam keterangannya.
Nahar menekankan pentingnya penyelidikan mendalam terkait kronologi kejadian. "Sesuai dampak perbuatan yang diterima korban, lumpuh, dan sakit yang kemungkinan dapat mengalami keterbatasan fisik secara permanen, maka perlu dipertimbangkan juga melapis dengan Pasal 355 KUHP dengan mendalami apakah para pelaku sebelum menganiaya, pulang dulu mengambil senjata, lalu kompak mengejar dan menghadang korban?" imbuhnya. Penerapan Pasal 355 KUHP ini dinilai lebih sejalan dengan tingkat keparahan tindakan yang mengakibatkan korban mengalami cacat permanen.
Pertimbangan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Anak
Meskipun para pelaku masih berusia anak, Kementerian PPPA tetap mendorong penggunaan Pasal 355 KUHP. Hal ini didasarkan pada dampak serius yang dialami korban. Ancaman hukuman yang lebih berat diharapkan dapat memberikan efek jera dan keadilan bagi RA.
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), para pelaku anak tidak ditahan dan hanya wajib lapor. Namun, kebijakan ini tidak mengurangi urgensi untuk menjerat para pelaku dengan pasal yang sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Kementerian PPPA berharap agar penegak hukum dapat mempertimbangkan secara matang aspek hukum dan keadilan dalam kasus ini.
Dampak Kasus dan Harapan Ke Depan
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan anak dan penegakan hukum yang adil. Penganiayaan berat yang menyebabkan korban mengalami kelumpuhan merupakan tindakan yang tidak dapat ditoleransi. Kejadian ini juga menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan dan edukasi untuk mencegah kekerasan terhadap anak di masa mendatang.
Kementerian PPPA berharap agar kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Pentingnya peran keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam mencegah kekerasan terhadap anak harus terus digaungkan. Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan adil diharapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi korban dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
Dengan mempertimbangkan dampak serius yang dialami korban, yaitu kelumpuhan permanen dan ketidakmampuan untuk bersekolah, upaya untuk menerapkan Pasal 355 KUHP menjadi sangat penting. Hal ini untuk memastikan keadilan ditegakkan dan memberikan efek jera bagi para pelaku, sekaligus melindungi hak-hak korban.
Kesimpulan
Kasus penganiayaan berat di Bengkulu ini menjadi sorotan penting dalam konteks perlindungan anak dan penegakan hukum. Desakan penerapan Pasal 355 KUHP menunjukkan komitmen untuk memberikan keadilan bagi korban dan memberikan efek jera bagi para pelaku. Semoga kasus ini dapat menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran dan upaya pencegahan kekerasan terhadap anak di Indonesia.