Kejati Sulsel Selesaikan Dua Kasus Pidana Lewat Restorative Justice
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menyelesaikan dua kasus penganiayaan melalui Restorative Justice (RJ) setelah tercapai perdamaian antara korban dan tersangka di Kepulauan Selayar dan Makassar.
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) menunjukkan komitmennya dalam penegakan hukum yang humanis. Baru-baru ini, Kejati Sulsel menyelesaikan dua kasus pidana melalui Restorative Justice (RJ) atau keadilan restoratif. Kedua kasus ini diajukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepulauan Selayar dan Kejari Kota Makassar, dan disetujui oleh Kepala Kejati Sulsel, Agus Salim, pada Selasa lalu dalam rapat daring di Makassar.
Kasus Penganiayaan di Kepulauan Selayar
Salah satu kasus melibatkan tersangka Abdul Kadir (55 tahun) yang dituduh melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP karena menganiaya mantan istrinya, RAP (35 tahun). Peristiwa ini terjadi pada 16 Oktober 2024 di Desa Bontotangnga, Kabupaten Kepulauan Selayar. Perselisihan bermula saat tersangka menuduh korban berselingkuh, yang kemudian berujung pada pertengkaran dan penganiayaan fisik. Korban mengalami luka-luka akibat insiden tersebut. Abdul Kadir, seorang duda dan buruh ternak, menafkahi dua anaknya yang masih sekolah.
Permohonan RJ dikabulkan berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, tersangka merupakan pelaku pertama kali dan bukan residivis. Kedua, terdapat perdamaian tanpa syarat antara korban dan tersangka. Ketiga, keterikatan emosional antara tersangka dan korban sebagai mantan pasangan suami istri dan orang tua dari dua anak menjadi faktor penting. Keempat, korban telah memaafkan tersangka dan menandatangani Berita Acara Perdamaian.
Kasus Penganiayaan di Makassar
Kasus kedua melibatkan tersangka Muhammad Ilham Septiadi alias Ilham Khalik (23 tahun), mahasiswa aktif semester tujuh di sebuah kampus swasta Makassar. Ia juga dituduh melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP atas penganiayaan terhadap juniornya, AF (20 tahun), di Wisma HMI Cabang Makassar pada 3 Oktober 2024. Penganiayaan terjadi karena tersangka tersinggung dengan perilaku dan ucapan korban. Akibatnya, AF mengalami pembengkakan dan nyeri di pipi kanannya.
Pertimbangan penerapan RJ dalam kasus ini meliputi status tersangka sebagai pelaku pertama kali dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun, kesembuhan luka korban, dan adanya perdamaian di antara kedua belah pihak. Tersangka merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dan masih berstatus mahasiswa.
Kesimpulan
Penerapan RJ dalam kedua kasus ini menunjukkan upaya Kejati Sulsel dalam memberikan keadilan yang restoratif dan mengedepankan perdamaian. Dengan dibebaskannya para tersangka dan pengembalian barang bukti, diharapkan kedua kasus ini dapat ditutup dengan damai dan memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak yang terlibat. Proses monitoring dari jaksa fasilitator juga memastikan keberlangsungan perdamaian yang telah tercapai.
Kepala Kejati Sulsel, Agus Salim, menekankan pentingnya RJ dalam menyelesaikan konflik, terutama yang melibatkan tindak pidana ringan dan terdapat potensi perdamaian. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih humanis dan efektif.
Wakajati Sulsel, Teuku Rahman, dan Asisten Tindak Pidana Umum, Rizal Syah Nyaman, turut hadir dalam ekspos perkara tersebut, menunjukkan dukungan penuh terhadap penerapan RJ sebagai solusi alternatif penyelesaian perkara pidana.