Ketentuan TPP Mundur Sebagai Caleg: Akademisi Nilai Sesuai UU Pemilu
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul, Prof. Dr. Juanda, menilai ketentuan TPP wajib mundur jika menjadi caleg sesuai UU Pemilu, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan.
Jakarta, 4 Maret 2024 (ANTARA) - Polemik mengenai kewajiban tenaga pendamping profesional (TPP) untuk mengundurkan diri dari jabatannya jika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg) telah mendapat tanggapan dari Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul, Prof. Dr. Juanda. Beliau menyatakan bahwa ketentuan tersebut sejalan dengan Undang-Undang Pemilu.
Pernyataan ini disampaikan Prof. Juanda dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta pada Selasa. Menurutnya, Pasal 240 ayat (1) huruf (k) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mewajibkan pejabat tertentu, termasuk karyawan lembaga atau badan lain, untuk mengundurkan diri jika maju sebagai caleg. Meskipun TPP tidak secara spesifik disebut dalam pasal tersebut, Prof. Juanda menekankan pentingnya interpretasi hukum untuk mencapai kebenaran dan kepentingan publik.
Penjelasan lebih lanjut diberikan terkait definisi 'karyawan' menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Prof. Juanda berpendapat bahwa TPP dapat dikategorikan sebagai karyawan karena mereka bekerja berdasarkan kontrak dan menerima honor dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menjadi dasar argumentasi beliau terkait kewajiban pengunduran diri tersebut.
Kewajiban Mundur dan Konsekuensi Hukum
Prof. Juanda juga menyoroti pentingnya profesionalitas TPP yang harus tetap terjaga dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik. Beliau menambahkan bahwa jika TPP tetap menerima gaji atau honor setelah ditetapkan sebagai calon tetap, mereka dapat diminta untuk mengembalikannya. "Jika nanti terbukti tetap menerima gaji atau honor setelah wajib mundur tetapi tidak mundur saat ditetapkan sebagai calon tetap, maka secara hukum pihak berwenang bisa meminta pengembalian semua honor yang diterima," tegas Prof. Juanda.
Lebih lanjut, Prof. Juanda menjelaskan bahwa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) berwenang untuk menghentikan kontrak kerja TPP yang terbukti melanggar aturan tersebut. Langkah ini dianggap penting sebagai upaya penegakan hukum dan menjaga profesionalisme pendamping desa.
Kemendes PDTT, menurut Prof. Juanda, dapat mengambil tindakan tegas jika ada TPP yang melanggar Pasal 240 Ayat 1 huruf k UU Pemilu. "Jika Kemendes ingin melakukan pembenahan dan menegakkan hukum untuk mewujudkan TPP profesional, maka jika terbukti melanggar Pasal 240 Ayat 1 huruf k, dapat saja kontrak kerja yang bersangkutan tidak dilanjutkan," jelasnya.
Interpretasi Hukum dan Profesionalitas TPP
Meskipun UU Pemilu tidak secara eksplisit menyebut TPP, Prof. Juanda menekankan pentingnya interpretasi hukum yang tepat. Menurutnya, metode interpretasi hukum diperlukan untuk memastikan keadilan dan kepentingan publik terpenuhi. Dalam hal ini, penting untuk melihat substansi pekerjaan TPP dan bagaimana hal itu dapat berpotensi konflik kepentingan jika mereka tetap menjabat sambil berkampanye sebagai caleg.
Prof. Juanda juga menekankan pentingnya menjaga profesionalitas TPP. Mereka harus mampu menjalankan tugasnya secara netral dan objektif, tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik. Kewajiban mundur ini, menurutnya, merupakan langkah untuk memastikan hal tersebut.
Dengan demikian, pernyataan Prof. Juanda memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai dasar hukum dan konsekuensi bagi TPP yang mencalonkan diri sebagai caleg. Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan menjaga integritas penyelenggaraan pemilu.
Kesimpulannya, pandangan Prof. Juanda memberikan landasan hukum yang kuat terkait kewajiban TPP untuk mundur jika menjadi caleg. Hal ini penting untuk menjaga netralitas dan profesionalisme dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pemilu.