KY Usut Vonis Bebas Penambang Ilegal China: Rugikan Negara Rp1,02 Triliun
Komisi Yudisial (KY) akan menyelidiki putusan bebas Pengadilan Tinggi Pontianak terhadap warga negara China, Yu Hao, yang terdakwa kasus penambangan ilegal dengan kerugian negara Rp1,02 triliun.
Komisi Yudisial (KY) menyatakan akan mempelajari putusan Pengadilan Tinggi Pontianak yang membebaskan Yu Hao, warga negara China, dari tuduhan penambangan ilegal. Kasus ini menyita perhatian publik karena Yu Hao diduga merugikan negara hingga Rp1,02 triliun.
Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, menjelaskan bahwa langkah ini diambil untuk memastikan tidak ada pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). KY akan memeriksa salinan putusan nomor 464/PID.SUS/2024/PT PTK untuk menyelidiki lebih lanjut.
Perhatian publik terhadap kasus ini sangat besar karena putusan bebas tersebut dinilai tidak adil. Terdakwa yang merugikan negara dengan jumlah fantastis tersebut dibebaskan dari segala tuntutan. KY berjanji akan memproses laporan dan informasi terkait sesuai prosedur yang berlaku.
Sebelumnya, KY telah mengajak masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran KEPPH yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Tinggi Pontianak jika ada bukti pendukung yang cukup. Laporan tersebut nantinya akan diproses sesuai prosedur yang berlaku di KY.
Pengadilan Tinggi Pontianak menerima permohonan banding Yu Hao (49), pemilik perusahaan Pu Er Rui Hao Lao Wu You Xian Gong Si, dan membebaskannya karena dinilai tidak terbukti bersalah melakukan penambangan ilegal. Putusan ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri Ketapang yang menjatuhkan vonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp30 miliar kepada Yu Hao.
Amar putusan Pengadilan Tinggi Pontianak menyatakan Yu Hao tidak terbukti bersalah melakukan penambangan tanpa izin. Majelis hakim yang memutus perkara ini terdiri dari Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak Isnurul Syamsul Arif sebagai ketua, serta Eko Budi Supriyanto dan Pransis Sinaga sebagai hakim anggota.
Yu Hao didakwa melakukan penambangan ilegal di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada Februari hingga Mei 2024. Ia melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Akibat perbuatannya, negara diduga mengalami kerugian mencapai Rp1.020.622.071.358,00 (Rp1,02 triliun) karena hilangnya cadangan emas dan perak dalam jumlah besar.