Organisasi Lingkungan Desak Revisi UU Kehutanan yang Holistik dan Progresif
Sejumlah organisasi lingkungan mendesak revisi UU Kehutanan agar lebih holistik, progresif, dan partisipatif dalam mengatasi deforestasi, konflik agraria, dan penegakan hukum.
Jakarta, 18 Maret 2024 - Sejumlah organisasi lingkungan di Indonesia mendesak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Mereka berharap revisi UU tersebut dapat membawa angin segar bagi tata kelola kehutanan nasional, dengan menekankan aspek holistik, progresif, dan partisipatif.
Desakan ini muncul menyusul rencana DPR RI untuk merevisi UU Kehutanan yang telah berlaku selama lebih dari dua dekade. Menurut para aktivis lingkungan, UU yang sudah ada dinilai tidak lagi mampu menjawab tantangan terkini dalam pengelolaan hutan Indonesia. Permasalahan seperti deforestasi, alih fungsi lahan, dan konflik agraria masih menjadi isu krusial yang perlu ditangani secara komprehensif.
"UU No. 41 Tahun 1999 telah menjadi dasar dalam tata kelola hutan Indonesia selama lebih dari dua dekade. Namun, seiring perkembangan zaman dan meningkatnya tekanan terhadap sumber daya hutan, regulasi ini dinilai perlu diperbarui untuk menyesuaikan dengan tantangan saat ini," ungkap Koordinator Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI), Muhamad Burhanudin, dalam diskusi bersama Yayasan KEHATI dan FDKI di Jakarta.
Isu Deforestasi dan Penegakan Hukum yang Lemah
Salah satu poin penting yang disoroti oleh para aktivis lingkungan adalah deforestasi dan alih fungsi lahan yang menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca (GRK). Hal ini berdampak signifikan terhadap perubahan iklim global. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dalam sektor kehutanan juga menjadi perhatian utama. Banyak kasus illegal logging, perambahan hutan, dan kebakaran hutan yang belum terselesaikan secara tuntas.
Muhamad Burhanudin menambahkan bahwa "penegakan hukum masih dapat dimaksimalkan untuk penanganan isu-isu kehutanan." Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas dan pengawasan yang lebih ketat dalam penegakan hukum di sektor kehutanan.
Lebih lanjut, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, mencatat ketidaksesuaian UU Kehutanan yang ada dengan kondisi dan tantangan kehutanan saat ini. Ia menyebutkan dampak perubahan iklim, deforestasi, degradasi hutan, dan meningkatnya konflik agraria sebagai beberapa permasalahan yang mendesak untuk ditangani.
Perlindungan Masyarakat Adat dan Tumpang Tindih Regulasi
Anggi juga menyoroti belum maksimalnya perlindungan terhadap masyarakat adat dan lokal. Seringkali, masyarakat adat kesulitan memperoleh pengakuan atas hak mereka di dalam dan sekitar hutan, bahkan mengalami kriminalisasi. "Belum maksimalnya perlindungan terhadap masyarakat adat dan lokal, yang sering kali kesulitan memperoleh pengakuan atas hak mereka di dalam dan sekitar hutan, bahkan mengalami kriminalisasi, menjadi catatan buruk yang harus dicarikan solusi dalam UU yang baru. Putusan MK 35 Tahun 2012 harus menjadi pertimbangan dalam UU Kehutanan yang baru," tegas Anggi.
Ia menekankan pentingnya revisi UU untuk mengakomodir hak-hak masyarakat adat sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012. Selain itu, tumpang tindih regulasi dengan UU lain, seperti UU Cipta Kerja, juga perlu dibenahi agar tata kelola kehutanan menjadi lebih efektif dan terintegrasi.
Lebih lanjut, perlu adanya peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam perizinan dan pengawasan pengelolaan hutan. Hal ini penting untuk mencegah praktik-praktik koruptif dan memastikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Harapan untuk Revisi UU Kehutanan
Para aktivis lingkungan berharap revisi UU Kehutanan dapat menjadi solusi bagi berbagai permasalahan yang ada. Revisi ini diharapkan dapat memperkuat perlindungan hutan, meningkatkan penegakan hukum, dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat. Dengan demikian, pengelolaan hutan di Indonesia dapat dilakukan secara lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Revisi UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2025 atas inisiatif DPR RI. Hal ini menunjukkan adanya komitmen dari pemerintah untuk memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia. Namun, partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk organisasi lingkungan dan masyarakat adat, sangat penting untuk memastikan revisi UU ini benar-benar holistik, progresif, dan partisipatif.