Perang Tarif AS-China: Siapa yang Lebih Unggul?
Analisis mendalam mengenai dampak perang tarif antara AS dan China, serta siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam konflik ekonomi global ini.
Perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China telah berlangsung selama beberapa waktu, menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya diuntungkan dan dirugikan. Konflik ini diawali oleh kebijakan proteksionis Presiden Donald Trump yang menaikkan tarif impor barang-barang dari China. Sebagai balasan, China juga menaikkan tarif impor barang-barang dari AS, memicu eskalasi yang berdampak luas pada perekonomian global. Pertanyaan utamanya adalah: siapakah yang lebih mampu bertahan dalam pertarungan ekonomi ini?
China, berbeda dengan negara-negara lain, tidak gentar menghadapi tantangan dari AS. Setiap tindakan AS dibalas dengan tindakan serupa dari China, menunjukkan tekad yang kuat untuk tidak mundur. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, bahkan menyatakan bahwa China tidak akan menoleransi upaya yang merugikan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan negara. Sikap tegas China ini menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap serius negosiasi tarif yang diajukan AS, dan menuntut perlakuan yang setara dan saling menguntungkan.
China menilai alasan AS dalam menjatuhkan tarif, yaitu praktik dagang tidak adil, sebagai alasan yang tidak berdasar. Mereka menganggap motif sebenarnya adalah proteksionisme dan pemerasan politik berkedok ekonomi, sebuah pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). China juga yakin bahwa hambatan perdagangan tidak akan menghentikan globalisasi ekonomi, dan bahwa AS, dengan hanya menyumbangkan 13 persen untuk impor barang global, tidak akan mampu menghentikan globalisasi yang ironisnya dipromosikan oleh AS sendiri.
Analisis Kekuatan Kedua Negara
Meskipun tidak ada pihak yang benar-benar menang dalam perang dagang, sikap China yang terus meladeni manuver Trump menunjukkan keyakinan mereka untuk dapat menjinakkan petualangan Presiden AS tersebut. Seorang pejabat China kepada Reuters menyatakan, "Siapa pun yang menyerah lebih dulu akan menjadi korban. Ini soal siapa yang bisa bertahan lebih lama." China memilih untuk menghadapi AS sendirian, karena mereka memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap risiko serangan dagang dan karena banyak industri China telah merelokasi diri ke negara-negara yang juga dikenai tarif oleh AS.
Keunggulan China terletak pada kestabilan politik dan ekonomi yang lebih pasti dibandingkan AS. China lebih konsisten dalam kebijakannya, sementara AS, dengan sistem politiknya yang lebih fluktuatif, rentan terhadap perubahan kebijakan dan tekanan elektoral. Hal ini membuat China lebih mudah mendapatkan dukungan internasional, sementara AS, dengan kebijakan yang berfokus pada kepentingan nasional semata, kehilangan banyak sekutu.
Beberapa negara, seperti Kanada, Jepang, dan Uni Eropa, semakin mendekat ke China sebagai upaya meminimalisasi dampak tarif AS dan sebagai sekutu dalam menjaga perdagangan bebas dan globalisasi. Bahkan, tokoh-tokoh berpengaruh di AS seperti Elon Musk dan Bill Ackman, yang merupakan donatur besar Trump, meminta Presiden AS untuk meninjau kembali kebijakan tarifnya karena dampak negatifnya terhadap perekonomian AS.
Dampak Negatif bagi AS
Sentimen buruk di pasar modal global akibat perang tarif semakin memperburuk situasi bagi AS. JPMorgan Chase menaikkan probabilitas resesi di AS dari 40 persen menjadi 60 persen, sementara Goldman Sachs menaikkannya dari 35 persen menjadi 45 persen. Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh kalangan bisnis dan masyarakat AS. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar warga AS meyakini kebijakan tarif akan menaikkan harga barang dan jasa, dan survei lain menunjukkan bahwa separuh responden AS menilai tarif terhadap China berdampak buruk bagi AS.
Situasi ini menimbulkan risiko elektoral bagi Partai Republik dan pemerintahan Trump. Janji Trump untuk menekan inflasi dan harga bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi, yang dapat membuat Partai Republik kehilangan dukungan di Pemilu Sela 2026. Berbeda dengan China yang memiliki sistem politik yang stabil, AS menghadapi risiko politik yang dapat menghambat upaya mereka dalam perang tarif.
Sentimen negatif di Wall Street dan protes dari rakyat AS semakin memperkuat pandangan bahwa China lebih unggul dalam menghadapi perang tarif ini. Kemampuan China untuk mengambil langkah yang padu dan berkelanjutan, tanpa terhambat oleh risiko elektoral, menjadi faktor kunci dalam ketahanan mereka menghadapi tekanan AS.
Kesimpulannya, meskipun perang tarif tidak memiliki pemenang yang sesungguhnya, China menunjukkan ketahanan dan kestabilan yang lebih besar dibandingkan AS dalam menghadapi konflik ini. Dampak negatif yang dirasakan AS, baik secara ekonomi maupun politik, menunjukkan bahwa strategi AS dalam perang tarif ini kurang efektif dibandingkan strategi China.