Prajurit TNI Boleh Bisnis? Pakar: Asal Tak Gunakan Fasilitas Jabatan
Pakar keamanan sepakat prajurit TNI diperbolehkan berbisnis, tetapi dengan catatan tidak menggunakan fasilitas jabatan atau mengganggu tugasnya. RUU TNI tengah mempertimbangkan hal ini.
Apa yang terjadi? Pakar keamanan dan pertahanan Universitas Pertamina, Ian Montratama, menyatakan bahwa prajurit TNI dapat berbisnis. Siapa yang terlibat? Pernyataan ini muncul dalam konteks pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Di mana dan kapan hal ini terjadi? Pernyataan tersebut disampaikan Ian saat dihubungi ANTARA di Jakarta pada Rabu, 5 Maret 2025, menanggapi diskusi seputar RUU TNI. Mengapa hal ini penting? RUU ini tengah mempertimbangkan pencabutan pasal yang melarang prajurit TNI berbisnis. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Ian menekankan bisnis yang diizinkan adalah bisnis individu, bukan institusi TNI, dengan syarat tidak menggunakan fasilitas jabatan atau mengganggu tugas di TNI.
Perdebatan seputar bisnis prajurit TNI ini muncul ke permukaan menyusul rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang dilakukan Komisi I DPR RI pada 3-4 Maret 2025. RDPU tersebut membahas masukan dari pakar dan lembaga swadaya masyarakat terkait RUU TNI, salah satunya mengenai pencabutan Pasal 39 UU TNI yang melarang anggota TNI berbisnis. Pasal ini juga melarang prajurit TNI terlibat dalam kegiatan politik praktis, menjadi anggota partai politik, dan mencalonkan diri dalam pemilihan umum.
Perubahan aturan ini dinilai perlu untuk mengakomodasi kebutuhan prajurit TNI yang ingin meningkatkan kesejahteraan keluarganya melalui kegiatan usaha. Namun, penting untuk memastikan agar kegiatan bisnis tersebut tidak mengganggu tugas dan tanggung jawab mereka sebagai prajurit, serta tidak menimbulkan konflik kepentingan. Hal ini membutuhkan pengawasan yang ketat dan mekanisme yang jelas untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang.
RUU TNI dan Aturan Bisnis Prajurit
RUU TNI yang tengah dibahas DPR RI ini menjadi sorotan karena berpotensi mengubah lanskap regulasi terkait bisnis prajurit. Saat ini, larangan tersebut tertuang jelas dalam Pasal 39 UU TNI. Namun, pertimbangan untuk mencabut pasal tersebut muncul sebagai respons terhadap kebutuhan peningkatan kesejahteraan prajurit dan keluarganya. Banyak prajurit yang memiliki keahlian dan potensi di luar tugas militer, sehingga membuka peluang bisnis dapat meningkatkan taraf hidup mereka.
Namun, pertimbangan ini juga menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, pencabutan pasal tersebut harus diimbangi dengan aturan yang lebih detail dan ketat untuk memastikan bisnis yang dijalankan prajurit tidak mengganggu tugas pokok mereka dan tidak merugikan institusi TNI. Mekanisme pengawasan yang efektif menjadi kunci keberhasilan regulasi ini.
Ian Montratama menyarankan agar pembuat undang-undang melibatkan ahli manajemen personalia untuk merumuskan prasyarat yang tepat bagi prajurit yang ingin berbisnis. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kegiatan bisnis tidak mengganggu kinerja dan profesionalisme prajurit dalam menjalankan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom rakyat.
Pertimbangan Etika dan Profesionalisme
Meskipun ada potensi peningkatan kesejahteraan, perlu ditekankan bahwa bisnis yang dilakukan prajurit TNI harus tetap mengedepankan etika dan profesionalisme. Penting untuk memastikan bahwa kegiatan bisnis tidak menimbulkan konflik kepentingan dan tidak merugikan citra TNI di mata masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan bisnis juga menjadi hal yang krusial.
Oleh karena itu, aturan yang lebih rinci dan mekanisme pengawasan yang ketat sangat diperlukan. Aturan tersebut harus mampu membatasi jenis usaha yang diperbolehkan, mekanisme pelaporan, dan sanksi yang tegas jika terjadi pelanggaran. Hal ini untuk memastikan bahwa bisnis yang dilakukan prajurit tidak mengganggu tugas dan tanggung jawab mereka sebagai prajurit.
Dengan demikian, pencabutan Pasal 39 UU TNI terkait larangan berbisnis bagi prajurit TNI harus diimbangi dengan aturan yang lebih komprehensif dan mekanisme pengawasan yang efektif. Hal ini untuk memastikan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan prajurit tidak merugikan institusi TNI dan tetap menjaga profesionalisme serta etika prajurit.
Kesimpulannya, perdebatan seputar bisnis prajurit TNI menuntut keseimbangan antara peningkatan kesejahteraan prajurit dengan menjaga integritas dan profesionalisme TNI. Aturan yang jelas, pengawasan yang ketat, dan komitmen dari seluruh pihak sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan regulasi ini.