Revisi UU Paten: Antara Inovasi dan Monopoli Industri Farmasi di Indonesia
Revisi UU Paten di Indonesia memicu kekhawatiran akan monopoli industri farmasi dan akses obat yang merata, di tengah upaya pemerintah membangun pabrik obat lokal dengan melibatkan TNI.
Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 65 Tahun 2024 tentang Paten di Indonesia menimbulkan kontroversi. Perubahan ini, yang diinisiasi oleh pemerintah, berpotensi memicu monopoli industri farmasi dan membatasi akses masyarakat terhadap obat-obatan. Hal ini terjadi karena penghapusan Pasal 4 huruf f UU sebelumnya yang mengatur pengecualian atas penggunaan baru produk yang sudah ada dan bentuk baru senyawa yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat signifikan. Kekhawatiran ini muncul di tengah upaya pemerintah membangun pabrik obat lokal dengan melibatkan TNI, menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan ketepatan langkah tersebut.
Pemerintah berargumen bahwa revisi UU Paten bertujuan untuk mendorong inovasi dan kemudahan birokrasi bagi inventor. Namun, penghapusan pasal tersebut justru membuka peluang praktik 'patent evergreening', yaitu perpanjangan paten terselubung yang memperpanjang monopoli perusahaan farmasi. Hal ini berpotensi menghambat akses masyarakat terhadap obat-obatan yang lebih terjangkau.
Situasi ini diperumit dengan rencana pemerintah membangun pabrik obat lokal dengan melibatkan TNI. Langkah ini menimbulkan pertanyaan tentang relevansi peran TNI dalam industri farmasi dan apakah langkah ini benar-benar solusi efektif untuk mengatasi tingginya harga obat di Indonesia. Ketidakjelasan ini memicu perdebatan publik mengenai strategi pemerintah dalam mengatasi permasalahan akses obat yang merata.
Perdebatan Seputar Revisi UU Paten dan Patent Evergreening
Revisi UU Paten menghapus Pasal 4 huruf f UU Nomor 13 Tahun 2016, pasal yang mengatur pengecualian atas ‘penggunaan baru dari produk yang sudah ada dan/atau yang sudah dikenal’ dan ‘bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat secara signifikan dan mengandung struktur kimia yang berbeda’. Penghapusan ini dikhawatirkan akan membuka jalan bagi praktik patent evergreening.
Praktik patent evergreening memungkinkan perusahaan farmasi memperpanjang monopoli obat paten mereka melebihi jangka waktu 20 tahun yang telah ditetapkan, dengan cara melakukan modifikasi kecil pada obat yang sudah ada tanpa peningkatan khasiat yang signifikan. Hal ini jelas merugikan masyarakat karena harga obat tetap tinggi dan akses obat menjadi terbatas.
Dr. Cita Yustisia Serfiyani, S.H., M.H., pakar hukum bisnis dan dosen di Universitas Negeri Surabaya, menyatakan, "Logika kritis yang seharusnya diutamakan di sini adalah mana yang lebih urgen antara mengejar target peningkatan jumlah invensi paten di Indonesia atau menetapkan standar patentabilitas yang tinggi sehingga sejak awal menjaring paten yang jelas berkualitas dan bermanfaat bagi publik? Kualitas seharusnya lebih diutamakan daripada kuantitas." Beliau menekankan pentingnya keseimbangan antara hak eksklusif inventor dan akses masyarakat terhadap obat.
Peraturan ini juga berpotensi bertentangan dengan prinsip 'langkah inventif' dalam TRIPS Agreement, yang mensyaratkan invensi harus merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya dan bukan hanya modifikasi sederhana.
Keterlibatan TNI dalam Industri Farmasi: Sebuah Pertanyaan Besar
Pemerintah berencana membangun pabrik obat lokal dengan memanfaatkan laboratorium farmasi TNI. Kerja sama ini antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian Kesehatan akan mendistribusikan obat generik melalui jaringan apotek Koperasi Desa Merah Putih.
Namun, langkah ini menuai kritik. TNI, menurut UU Nomor 3 Tahun 2025, memiliki tugas pokok operasi militer perang dan operasi militer selain perang, tidak termasuk produksi obat. Keterlibatan TNI di sektor ini dipertanyakan kesesuaiannya dan dianggap kurang tepat.
Alternatif yang lebih baik, menurut beberapa kalangan, adalah mengoptimalkan holding BUMN farmasi yang sudah ada dan meningkatkan kolaborasi dengan universitas serta lembaga riset. Hal ini akan lebih efektif dan sesuai dengan keahlian masing-masing pihak.
"Penempatan TNI di sektor-sektor non-pertahanan sesungguhnya bertujuan mulia untuk mempercepat pembangunan di wilayah yang membutuhkan peran TNI sehingga program pemerintah bisa terlaksana. Peran penting TNI yang tepat bisa diwujudkan dalam bentuk membantu distribusi obat saat terjadi perang dan bencana serta membantu pemerintah dalam pengembangan wilayah pelosok 3T melalui program teritorial dan kemanusiaan, bukan untuk masuk ke ranah produksi obat," jelas Dr. Cita Yustisia Serfiyani.
Kesimpulan
Revisi UU Paten dan rencana pembangunan pabrik obat dengan melibatkan TNI menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen pemerintah dalam memastikan akses obat yang merata dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan memprioritaskan optimalisasi sumber daya yang sudah ada, serta memastikan bahwa peraturan yang dibuat tidak mengorbankan hak asasi manusia atas kesehatan.
Penting untuk mengedepankan kualitas daripada kuantitas dalam hal invensi paten, dan memastikan bahwa inovasi di bidang farmasi benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya menguntungkan segelintir perusahaan farmasi. Keseimbangan antara inovasi, hak eksklusif inventor, dan akses kesehatan yang adil harus menjadi prioritas utama.