Revisi UU TNI: DPR Prioritaskan Sipil Supremasi di Tengah Kekhawatiran Peran Ganda Militer
DPR RI tengah merevisi UU TNI, memicu kekhawatiran peran ganda militer, namun DPR dan Menhan Sjafrie Sjamsoeddin memastikan revisi ini untuk memperjelas peran militer di instansi sipil dan tetap mengedepankan supremasi sipil.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pembahasan ini kembali mengemuka setelah sempat tertunda, dan kini resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Komisi I DPR, yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi, dan intelijen, ditugaskan untuk memimpin proses amandemen ini, meskipun sebelumnya diprioritaskan untuk merevisi UU Penyiaran. Keputusan untuk memprioritaskan revisi UU TNI diambil dalam rapat paripurna DPR pada 18 Februari 2025.
Revisi UU TNI difokuskan pada tiga pasal yang berkaitan dengan posisi TNI, usia pensiun prajurit, dan jabatan sipil bagi perwira aktif. Hal ini menimbulkan kekhawatiran publik terkait potensi kebangkitan peran ganda militer, mengingat pengalaman masa Orde Baru. Kekhawatiran ini diperkuat oleh laporan—yang belum terkonfirmasi—tentang draf revisi yang memberikan kewenangan presiden untuk menunjuk prajurit ke posisi sipil.
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, dalam pertemuan dengan Komisi I pada 11 Maret 2025, mengusulkan perluasan jabatan sipil yang dapat dijabat prajurit aktif. Namun, usulan ini lebih menekankan pada peningkatan jumlah posisi di instansi sipil sektor keamanan dan hukum, mengingat sejumlah prajurit aktif telah bertugas di sektor tersebut berdasarkan UU TNI yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk memformalkan peran tersebut, bukan memperluas keterlibatan militer dalam urusan sipil.
Peran Militer di Instansi Sipil dan Supremasi Sipil
Pasal 48 UU TNI saat ini mengizinkan prajurit aktif menduduki posisi di 10 instansi sipil, termasuk Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, BIN, BSSN, Lemhannas, Dewan Pertahanan Nasional, Basarnas, BNN, dan Mahkamah Agung. Sjafrie Sjamsoeddin mengusulkan perluasan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Bakamla, dan Kejaksaan Agung. Beberapa instansi seperti BNPT, BNPB, dan Bakamla memang telah lama melibatkan perwira TNI aktif. Kejaksaan Agung juga melibatkan perwira TNI aktif setelah revisi UU No. 16 Tahun 2004 tahun 2021.
Wakil Ketua Komisi I, Dave Laksono, memastikan DPR telah membatalkan usulan penempatan prajurit aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan revisi UU TNI bertujuan untuk meregulasi praktik yang sudah ada, bukan memperluas keterlibatan militer. Ia juga menyatakan bahwa sentimen publik negatif terhadap peran ganda militer sebagian besar disebabkan kurangnya kejelasan dalam penyusunan RUU.
Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, menjamin TNI tetap berkomitmen pada prinsip supremasi sipil dan profesionalisme militer. Proses penyusunan RUU terus berlanjut, dengan rencana rapat paripurna DPR pada 20 Maret 2025 untuk pembahasan lebih lanjut. Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui draf revisi, seperti yang dikonfirmasi oleh Ketua Komisi I, Utut Adianto.
Harapan terhadap Revisi UU TNI
TNI telah berkontribusi besar bagi bangsa Indonesia, khususnya dalam menjaga keutuhan NKRI. Namun, penting untuk membatasi keterlibatan prajurit aktif dalam instansi dan urusan sipil di luar fungsi utamanya. Peristiwa 1965 dan berbagai gerakan separatis menunjukkan peran penting TNI, namun supremasi sipil tetap harus dijaga.
Revisi UU TNI harus memastikan TNI tetap berada dalam koridornya di era reformasi. Prajurit aktif yang bertugas di instansi sipil harus tunduk pada aturan dan regulasi instansi tersebut. DPR harus mengakomodasi aspirasi rakyat untuk TNI yang profesional dan tetap berada di bawah kendali pemerintahan sipil. Dengan demikian, revisi UU TNI dapat memperkuat peran TNI dalam melindungi negara tanpa mengorbankan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.