Revolusi Digital: Membangun Tempat Kerja yang Lebih Aman dan Sehat
Digitalisasi membawa peluang besar untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), namun juga menghadirkan tantangan baru yang perlu diatasi melalui kolaborasi pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
Jakarta, 28 April (ANTARA) - Digitalisasi telah mengubah lanskap dunia kerja, termasuk aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), robotika, sensor yang dapat dikenakan, dan realitas virtual menawarkan potensi besar untuk mengurangi risiko K3 dan meningkatkan kondisi kerja. Namun, transformasi digital juga menimbulkan bahaya baru, ketidaksetaraan, dan kesenjangan regulasi yang perlu segera ditangani.
Perubahan ini terlihat di berbagai sektor di Asia Pasifik. Otomatisasi, misalnya, mengurangi paparan pekerja terhadap bahaya seperti bahan kimia berbahaya, kebisingan, debu, suhu ekstrem, dan mesin berbahaya. Di Selandia Baru, jaringan robotika tengah mengeksplorasi potensi otomatisasi untuk meningkatkan keselamatan kerja di berbagai industri. Sementara itu, Malaysia mengintegrasikan protokol keselamatan berbasis AI di sektor elektronik, yang melibatkan tugas-tugas repetitif dan paparan bahaya fisik dan kimia.
Pencegahan menjadi kunci utama K3. Sistem pemantauan cerdas dan analitik prediktif memberikan alat bagi perusahaan dan pekerja untuk mendeteksi potensi bahaya sebelum membesar. Realitas virtual (VR) dan realitas tertambah (AR) juga merevolusi pelatihan pekerja, terutama di sektor berisiko tinggi. Simulasi imersif memungkinkan pekerja berlatih dalam situasi darurat atau menavigasi lingkungan berbahaya tanpa risiko nyata. Namun, teknologi ini juga memiliki sisi negatif. Manajemen algoritmik, meskipun potensial, dapat meningkatkan intensitas kerja, mengurangi otonomi pekerja, dan memperkuat pengawasan, sehingga meningkatkan stres dan menurunkan kesejahteraan pekerja.
Tantangan Digitalisasi dan K3
Digitalisasi telah mendorong peningkatan pekerjaan jarak jauh dan berbasis platform, namun juga mengaburkan batas antara waktu kerja dan istirahat. Dampak negatifnya bagi kesehatan meliputi ketegangan muskuloskeletal, kelelahan, dan isolasi digital. Pengemudi yang terburu-buru mengantarkan barang atau menjemput penumpang, misalnya, menghadapi risiko bagi diri sendiri dan klien mereka. Pekerja lepas seringkali kekurangan perlindungan K3 dasar, dan banyak platform digital tidak menyediakan dukungan terstruktur untuk kesehatan fisik dan mental, meskipun risiko kesehatan dan keselamatan meningkat akibat bahaya psikososial, ergonomis, dan lingkungan.
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah, pengusaha, dan pekerja harus berkolaborasi. Konvensi ILO No. 155 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Konvensi No. 187 tentang Kerangka Kerja Promosi memberikan kerangka kerja yang kuat untuk upaya ini. Kerangka kerja regulasi perlu dikembangkan dan diperbarui. Singapura, misalnya, telah memasukkan pekerja platform ke dalam Undang-Undang Kompensasi Kecelakaan Kerja sejak 1 Januari 2025, memberikan perlindungan sosial yang setara dengan pekerja tradisional. Jepang juga berupaya memperluas cakupan undang-undang K3 kepada pekerja mandiri, termasuk pekerja platform tanpa kontrak kerja.
Langkah-langkah selanjutnya meliputi: pertama, integrasi K3 dalam semua strategi transformasi digital; kedua, pembaruan regulasi K3 secara berkala untuk mengatasi risiko baru, seperti bias algoritmik dan dampak kesehatan mental; ketiga, pelatihan yang inklusif dan berkelanjutan untuk memastikan semua pekerja dapat menggunakan teknologi digital dengan aman, dengan perhatian khusus pada kelompok rentan; keempat, partisipasi pekerja dan pengusaha dalam pengembangan dan implementasi teknologi; dan kelima, integrasi inovasi digital dengan pengawasan manusia, standar etika, dan hak-hak pekerja.
Digitalisasi bukan hanya tentang efisiensi, tetapi juga kesempatan untuk menciptakan tempat kerja yang lebih aman, sehat, dan tangguh. Komitmen bersama untuk memastikan inovasi dan perlindungan berjalan seiring sangatlah penting untuk mewujudkan masa depan kerja yang lebih baik bagi semua.
*) Kaori Nakamura-Osaka adalah Asisten Direktur Jenderal dan Direktur Regional Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) untuk Asia dan Pasifik.
*) Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi atau posisi Kantor Berita ANTARA.