RSI: SK Penunjukan Kawasan Hutan Tak Sah Tetapkan Lahan di Dalam Kawasan Hutan
Rumah Sawit Indonesia (RSI) menyatakan Surat Keputusan (SK) Penunjukan Kawasan Hutan tak bisa jadi dasar penetapan lahan dalam kawasan hutan, karena harus ada verifikasi lapangan dan masyarakat yang memiliki alas hak kuat dapat menggugat.
Jakarta, 19 Februari 2025 - Rumah Sawit Indonesia (RSI) menyatakan bahwa Surat Keputusan (SK) Penunjukan Kawasan Hutan tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan suatu lahan berada di dalam kawasan hutan. Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua RSI, Kacuk Sumarto, menanggapi SK Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Konferensi Internasional RSI bertema "Indonesia’s Agricultural Industry Policies and The New European Union Regulation on Deforestation-Free Products: Tantangan dan Peluang", yang digelar di Medan, Sumatera Utara pada 19-20 Februari 2025.
Sumarto menjelaskan bahwa SK Menhut tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan apakah perkebunan kelapa sawit beroperasi di dalam kawasan hutan. Banyak perusahaan sawit yang terdaftar dalam SK 36 telah memiliki alas legalitas lahan yang sah berupa Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). "Ada kebun yang HGU-nya sudah diperpanjang, tetapi masuk dalam daftar SK 36. Mestinya, SK yang bersifat penunjukan tidak bisa dijadikan dasar penetapan kawasan hutan. Harus ada proses verifikasi lapangan, pengukuran, dan lain-lain," tegas Sumarto.
Lebih lanjut, Sumarto menekankan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 15, Penunjukan Kawasan Hutan hanyalah tahap awal dari proses penetapan Kawasan Hutan yang terdiri dari empat tahapan. Oleh karena itu, SK Penunjukan Kawasan Hutan tidak dapat serta-merta digunakan untuk menetapkan suatu lahan sebagai bagian dari kawasan hutan. Ia juga mempertanyakan dasar hukum SK Menhut No. 36 Tahun 2025, apakah berdasarkan SK Penunjukan atau SK Penetapan. "Kalau hanya SK Penunjukan, ya tentunya tidak sah untuk mengatakan suatu lahan masuk di dalam kawasan hutan," tegasnya.
Permasalahan Legalitas Lahan dan Ancaman Kriminalisasi
Sumarto juga menyoroti permasalahan legalitas lahan dan potensi kriminalisasi terhadap masyarakat yang memiliki alas hak yang kuat, seperti Sertifikat Hak Milik (SHM), Hak Guna Bangunan (HGB), atau HGU. Ia mendorong masyarakat yang memiliki alas hak yang kuat untuk berani menggugat jika hak-hak mereka terancam. Pemerintah, menurutnya, berhak menarik kembali lahan yang dikuasai masyarakat untuk kepentingan umum, tetapi harus tetap menghormati dan menghargai hak-hak perdata masyarakat yang berada di lahan tersebut.
Ia menambahkan bahwa inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penetapan kawasan hutan berdampak secara global. Para pelaku usaha dan petani kelapa sawit telah berkomitmen untuk patuh pada peraturan dan menerapkan tata kelola berkelanjutan, namun pemerintah justru menuding perkebunan sawit berada di kawasan hutan. Bagi pelaku usaha dan petani sawit, SK 36 Menhut dinilai tidak masuk akal, terutama karena beberapa perusahaan yang HGU-nya telah diperpanjang juga masuk dalam daftar kebun yang berada di kawasan hutan.
RSI mendukung upaya pemerintah dalam memberantas pembalakan hutan ilegal. Namun, perusahaan perkebunan yang bersih dan patuh terhadap peraturan seharusnya tidak disangkutpautkan dengan permasalahan tersebut. Ketidakjelasan dan inkonsistensi kebijakan pemerintah berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pelaku usaha dan petani sawit yang telah menjalankan bisnisnya secara legal dan berkelanjutan.
Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Regulasi dan Proses Penetapan Kawasan Hutan
Proses penetapan kawasan hutan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilalui secara saksama. SK Penunjukan Kawasan Hutan hanyalah langkah awal, dan bukan merupakan dasar yang cukup untuk menyatakan suatu lahan sebagai bagian dari kawasan hutan. Verifikasi lapangan, pengukuran, dan proses lainnya diperlukan untuk memastikan keakuratan penetapan tersebut. Ketiadaan proses verifikasi tersebut dapat menyebabkan ketidakadilan dan kerugian bagi pihak-pihak yang memiliki alas hak yang sah atas lahan tersebut.
Perlu adanya transparansi dan kejelasan dalam penerapan regulasi terkait penetapan kawasan hutan. Hal ini penting untuk mencegah konflik dan memastikan perlindungan hak-hak masyarakat yang memiliki alas hak yang sah. Pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan dan memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak merugikan pihak-pihak yang telah menjalankan usaha secara legal dan berkelanjutan.
Ke depan, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan koordinasi antar kementerian terkait, seperti Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN, untuk menghindari tumpang tindih dan inkonsistensi dalam penetapan kawasan hutan. Hal ini akan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dan masyarakat, serta menciptakan iklim investasi yang kondusif di sektor perkebunan kelapa sawit.
RSI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak terkait, termasuk pelaku usaha dan masyarakat, dalam penyusunan dan penerapan kebijakan terkait penetapan kawasan hutan. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.