Rupiah Menguat: Perang Tarif AS-China Melunak, Peluang BI Turunkan Suku Bunga?
Nilai tukar rupiah menguat signifikan seiring meredanya perang tarif antara AS dan China, membuka peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat signifikan pada perdagangan Jumat, 2 Mei 2025. Penguatan ini didorong oleh meredanya perang tarif antara AS dan China, serta data inflasi domestik yang menunjukkan berakhirnya pola deflasi. Analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, menjelaskan bahwa sikap China yang lebih lunak dan membuka peluang negosiasi dengan AS menjadi faktor utama penguatan rupiah. Penguatan ini terlihat jelas pada penutupan perdagangan di Jakarta, di mana rupiah menguat 139 poin (0,84 persen) menjadi Rp16.438 per dolar AS.
Menurut Rully Nova, perang tarif yang berkepanjangan tidak menguntungkan kedua belah pihak. "Tidak ada pemenang dari perang tarif, yang ada boncos semuanya, baik AS maupun China," katanya. Ia memprediksi akan tercipta hubungan baru yang saling menguntungkan (resiprokal) di bidang perdagangan dan investasi antara AS dan China ke depannya. Hal ini memberikan sentimen positif bagi pasar dan turut mendorong penguatan rupiah.
Selain sentimen global yang membaik, data inflasi domestik juga memberikan kontribusi pada penguatan rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sebesar 1,17 persen pada April 2025, menandai berakhirnya pola deflasi dan menunjukkan sektor ekonomi berjalan pada jalur ekspansif. Kondisi ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan.
Sentimen Global dan Penguatan Rupiah
Perang tarif antara AS dan China yang telah berlangsung beberapa waktu, telah menciptakan ketidakpastian di pasar global. Namun, dengan sikap China yang kini lebih terbuka untuk bernegosiasi, ketidakpastian tersebut berkurang. Ketergantungan China pada impor bahan baku dari AS dan kebutuhan ekspor untuk pertumbuhan ekonomi menjadi alasan utama perubahan sikap tersebut. Sektor properti di China yang belum pulih juga mendorong mereka untuk mencari solusi damai dalam perselisihan perdagangan.
Rully Nova menambahkan bahwa China sangat bergantung pada impor bahan baku dari industri di AS. Selain itu, ekspor sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi China, mengingat sektor properti belum pulih sepenuhnya. Oleh karena itu, negosiasi dan penurunan tensi perang dagang menjadi langkah strategis bagi China untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Dengan meredanya ketegangan, investor kembali memiliki kepercayaan diri untuk berinvestasi di pasar Indonesia, yang pada akhirnya mendorong penguatan nilai tukar rupiah. Hal ini juga menunjukkan bahwa pasar merespon positif terhadap upaya diplomasi dan penyelesaian konflik secara damai.
Inflasi dan Kebijakan Moneter
Data inflasi yang dirilis BPS menunjukkan angka 1,17 persen pada bulan April 2025. Angka ini mengindikasikan berakhirnya periode deflasi dan menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif. Kondisi ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan moneternya.
Rully Nova menilai masih ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Penurunan suku bunga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengurangi biaya pinjaman bagi perusahaan dan individu. Namun, keputusan BI akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah.
Penguatan rupiah yang signifikan juga memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dapat membantu menurunkan biaya impor dan meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global. Namun, perlu diingat bahwa stabilitas nilai tukar rupiah juga dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal lainnya.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Jumat sore juga menguat ke level Rp16.493 per dolar AS, dibandingkan dengan Rp16.679 per dolar AS pada hari sebelumnya. Ini menunjukkan konsistensi penguatan rupiah di pasar valuta asing.
Secara keseluruhan, penguatan rupiah ini menunjukkan sentimen positif pasar terhadap perekonomian Indonesia dan perkembangan global yang lebih kondusif. Namun, tetap perlu kewaspadaan dan pemantauan terhadap perkembangan ekonomi global dan domestik ke depannya.