RUU PPRT: Langkah Tepat Hapus Ketimpangan dan Lindungi PRT?
Anggota Baleg DPR RI dorong pengesahan RUU PPRT untuk melindungi pekerja rumah tangga (PRT) dari eksploitasi dan kekerasan, serta menghapus ketimpangan relasi kerja.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Syarief Muhammad, menekankan urgensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sebagai solusi untuk mengatasi ketimpangan relasi antara pekerja rumah tangga (PRT) dan pemberi kerja. Beliau menyatakan bahwa selama ini, permasalahan ini belum mendapatkan perhatian yang serius, dan RUU PPRT diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi PRT yang selama ini berada dalam posisi rentan.
Menurut Syarief, "RUU PPRT harus memprioritaskan perlindungan bagi pekerja rumah tangga yang selama ini berada dalam posisi lemah dan kurang terlindungi. RUU ini penting untuk menghapus ketimpangan antara pekerja dan pemberi kerja."
Minimnya perlindungan hukum bagi PRT menjadi perhatian serius. Banyak PRT yang bekerja di sektor domestik rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi, karena minimnya daya tawar mereka dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, kehadiran negara sangat dibutuhkan untuk menjamin hak-hak mereka.
Perlindungan Komprehensif bagi PRT
Syarief menegaskan pentingnya RUU PPRT untuk secara jelas mencantumkan hak-hak PRT, termasuk jaminan kecelakaan kerja, hak atas upah saat sakit, kebebasan beribadah, pekerjaan yang layak, dan perlindungan sosial lainnya. Beliau menekankan bahwa PRT juga merupakan warga negara Indonesia yang berhak atas kehidupan yang layak dan bermartabat.
"Negara tidak boleh abai. Hak-hak pekerja rumah tangga harus diakui dan dilindungi sebagaimana warga negara lainnya. Mereka adalah bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki hak hidup layak dan bermartabat," tegas Syarief.
Data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan mencatat 25 kasus kekerasan terhadap PRT periode 2019-2023, sementara Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat 2.641 kasus sepanjang 2018-2023. Angka ini menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap PRT merupakan fenomena gunung es, dengan banyak kasus yang tidak terlaporkan karena berbagai kendala.
"Apa yang tampak hanya sebagian kecil dari kenyataan. Masih banyak kasus serupa yang belum dilaporkan karena keterbatasan akses dan ketakutan korban," ungkap Syarief.
Kasus Kekerasan: Tanda Kegagalan Perlindungan
Salah satu kasus yang disoroti adalah kasus kekerasan terhadap PRT asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di Jawa Barat, yang disekap dan tidak diberi makan oleh pemberi kerja. Kasus ini menjadi bukti nyata perlunya perlindungan hukum yang lebih kuat bagi PRT.
"Peristiwa keji seperti ini harus dicegah dan tidak boleh terulang. Pekerja rumah tangga juga berhak hidup aman, tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun," tegas Syarief.
Dengan berbagai kasus kekerasan yang terjadi, pentingnya pengesahan RUU PPRT semakin mendesak. RUU ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang komprehensif bagi PRT dan mencegah terjadinya eksploitasi dan kekerasan di masa mendatang.
Dukungan Pengesahan RUU PPRT
Syarief menyatakan komitmennya untuk mendukung pembahasan dan pengesahan RUU PPRT yang telah berjalan selama lebih dari dua dekade. Beliau berharap RUU ini dapat segera disahkan menjadi undang-undang untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi PRT di Indonesia.
"Kami berkomitmen untuk secepatnya menyelesaikan RUU PPRT karena pembahasannya sudah berlangsung lama," tutup Syarief.