Semangat Persaudaraan Bulog dan Petani: Kunci Wujudkan Kedaulatan Pangan?
Jelang panen raya, peran Bulog dalam menjaga stabilitas pangan dan kesejahteraan petani kembali dipertanyakan; wacana mengembalikan Bulog sebagai lembaga otonom diharapkan mampu melindungi petani dari praktik tengkulak.
Jelang panen raya musim tanam Oktober-Maret 2025, nasib petani padi di Indonesia kembali menjadi sorotan. Pertanyaan besar muncul: akankah panen kali ini membawa perubahan positif bagi kesejahteraan mereka, atau justru terperangkap dalam siklus kemiskinan? Peran Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam menjawab pertanyaan ini menjadi krusial, terutama mengingat peran strategisnya dalam menjaga stabilitas pangan nasional.
Diskusi mengenai peran Bulog selalu menarik, terlebih menjelang panen raya. Berbagai tantangan klasik kembali muncul, mulai dari fluktuasi harga, kendala distribusi, daya serap pasar yang rendah, hingga ancaman hama dan perubahan iklim. Dominasi tengkulak semakin memperparah situasi. Bulog, sebagai penampung gabah, penjaga cadangan beras pemerintah, dan penstabil harga melalui operasi pasar, diharapkan mampu mengatasi tantangan ini, meskipun efektivitasnya sering terhambat.
Sejak pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran, wacana mengenai status dan peran Bulog semakin intensif. Berbagai usulan mengemuka, mulai dari mengembalikan Bulog sebagai lembaga otonom di bawah Presiden hingga mempertahankan statusnya sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang profesional dan tangguh. Perdebatan ini wajar, mengingat masing-masing opsi memiliki kelebihan dan kekurangan.
Menuju Kedaulatan Pangan: Peran Bulog yang Lebih Strategis
Presiden Prabowo cenderung condong mengembalikan Bulog ke status lembaga otonom. Selama 21 tahun sebagai BUMN, kinerja Bulog dinilai belum sepenuhnya optimal. Beberapa pengamat menilai Bulog lebih berperan sebagai operator pangan yang menjalankan penugasan pemerintah, meskipun keberhasilan penyaluran Program Bantuan Beras Langsung kepada 22 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) mendapat apresiasi.
Presiden Prabowo menekankan peran kunci Bulog dalam percepatan swasembada pangan, khususnya beras dan jagung pada 2027. Beliau juga menekankan pentingnya kemitraan yang realistis dengan petani, bandar, dan tengkulak. Harapannya, Bulog dapat menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan petani dan pelaku usaha beras, menciptakan ekosistem pangan yang lebih adil.
Mengembalikan Bulog sebagai lembaga otonom diharapkan memberikan fleksibilitas lebih besar dalam menjalankan misi melindungi petani. Dengan demikian, Bulog dapat fokus pada kesejahteraan petani tanpa terbebani oleh target profitabilitas perusahaan.
Melindungi Petani: Brotherhood Spirit Bulog
Sejarah Bulog tak hanya soal stabilitas pasokan dan harga pangan, tetapi juga kedekatan dengan petani. Hubungan saling menguntungkan antara Bulog dan petani harus diperkuat. Paradigma baru swasembada pangan tak hanya berfokus pada peningkatan produksi, tetapi juga kesejahteraan petani.
Kehadiran Bulog saat panen raya menjadi simbol nyata kehadiran negara. Bulog harus menjadi pembeli utama (offtaker) gabah dan beras dari petani dengan harga layak, mencegah kerugian akibat fluktuasi harga yang dikendalikan tengkulak. Bulog juga perlu menggandeng bandar dan tengkulak dalam ekosistem yang lebih adil, mengalokasikan sebagian keuntungan untuk kesejahteraan petani.
Bulog harus memosisikan petani sebagai mitra strategis, bukan sekadar pemasok. Dengan semangat kebersamaan dan kemitraan, Bulog dapat membangun sektor pangan berkelanjutan. Dengan status lembaga otonom, Bulog memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menjalankan misinya.
Dengan semangat persaudaraan ("brotherhood spirit"), Bulog dapat kembali ke peran asalnya sebagai pelindung petani. Sebagai instrumen negara, Bulog harus memastikan petani bukan hanya objek kebijakan, tetapi mitra yang dihargai. Keputusan mengembalikan Bulog ke status lembaga otonom bukan sekadar langkah politik, melainkan strategi besar untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berpihak pada petani.