Seragam Kemasan Rokok: Beban Pengusaha, Celah Rokok Ilegal?
Aprindo dan Gaprindo khawatir penyeragaman kemasan rokok akan membebani pengusaha, mempersulit konsumen, dan meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Jakarta, 24 April 2024 - Rencana pemerintah untuk menyeragamkan kemasan rokok menuai kontroversi. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menyatakan kebijakan ini akan menambah beban pengusaha dan membuka peluang bagi maraknya rokok ilegal. Wacana ini muncul seiring penyusunan Peraturan Menteri Kesehatan sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Kebijakan ini bertujuan untuk menyamakan warna dan kemasan produk tembakau dan rokok elektronik.
Ketua Umum Aprindo, Solihin, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak ekonomi dari kebijakan ini. Ia berpendapat bahwa pemerintah seharusnya mendorong kemudahan berusaha, bukan sebaliknya. "Pemerintah seharusnya mendorong kemudahan berusaha, bukan menambah beban dengan regulasi yang tidak berpihak pada dunia usaha," tegas Solihin dalam pernyataan di Jakarta, Kamis.
Solihin juga menyoroti kesulitan konsumen dalam membedakan rokok legal dan ilegal akibat keseragaman kemasan. Ia menambahkan bahwa pengawasan di tingkat pengecer, khususnya warung kecil dan toko kelontong, akan menjadi tantangan besar. "Kalau di supermarket mungkin masih bisa dikontrol, tapi tidak demikian dengan toko-toko kecil," ujarnya.
Dampak terhadap Pengusaha dan Konsumen
Aprindo dan Gaprindo sepakat bahwa penyeragaman kemasan berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Keseragaman kemasan akan membuat konsumen kesulitan membedakan produk legal dan ilegal, sehingga membuka peluang bagi rokok ilegal untuk berkembang pesat. Benny Wachjudi, Ketua Umum Gaprindo, menambahkan bahwa lemahnya penindakan terhadap rokok ilegal selama ini juga menjadi masalah. Penindakan selama ini hanya menyasar distributor, bukan produsen.
"Ini bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat dan membuka celah makin banyaknya rokok ilegal di pasaran," ujar Benny Wachjudi. Ia juga menyoroti kurangnya tindakan tegas terhadap pabrik rokok ilegal. "Kami belum pernah mendengar adanya tindakan tegas terhadap mesin produksi rokok ilegal," tambahnya.
Gaprindo mencatat pendapatan cukai rokok mencapai sekitar Rp216,9 triliun pada 2024, mendekati target Rp230 triliun. Pendapatan ini sebagian besar dipengaruhi oleh daya beli masyarakat. Kebijakan penyeragaman kemasan dikhawatirkan akan semakin menekan industri rokok legal dan berdampak pada penerimaan negara dari cukai.
Pertimbangan Aspek Kesehatan dan Ekonomi
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, sebelumnya telah menyoroti maraknya rokok ilegal. Ia menekankan bahaya rokok ilegal dan pelanggaran hukum yang menyertainya, termasuk pelanggaran merek dan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“(Rokok ilegal) harus ditertibkan. Karena tidak hanya merusak perekonomian, ada soal merek, tapi juga sifat bahayanya barang itu. Kalau rokok (ilegal) itu dijual, satu perbuatan dia terkena beberapa pasal,' ujarnya.
Wamenkumham menekankan perlunya pendekatan yang seimbang antara aspek kesehatan dan kepentingan ekonomi. "Solusinya harus bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak, antara manfaat ekonomi dan keadilan hukum," kata Edward Omar Sharif Hiariej. Ia menyarankan agar solusi yang diambil mampu mempertimbangkan semua aspek yang terkait, termasuk dampak ekonomi dan penegakan hukum.
Peraturan Menteri Kesehatan yang akan mengatur penyeragaman kemasan rokok masih dalam proses penyusunan. Namun, wacana ini telah menimbulkan berbagai penolakan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, industri, dan konsumen. Perdebatan ini menyoroti kompleksitas masalah dan perlunya solusi yang komprehensif.