Setoran Fee Proyek Penunjukan Langsung di Semarang: 'Bos E' Terseret Kasus Korupsi Mantan Wali Kota
Saksi menyebut adanya komitmen fee dari proyek-proyek di Semarang yang disebut sebagai setoran untuk 'bos e', terkait kasus dugaan korupsi mantan Wali Kota Hevearita G. Rahayu.
Pengadilan Tipikor Semarang, pada Senin, 5 Mei 2024, menjadi saksi bisu terungkapnya dugaan aliran dana dari proyek-proyek penunjukan langsung di Kota Semarang. Gatot Sunarto, pengurus Gapensi Kota Semarang, memberikan kesaksian mengejutkan terkait kasus dugaan korupsi mantan Wali Kota Semarang, Hevearita G. Rahayu. Kesaksian ini mengungkap adanya komitmen fee yang disebut sebagai setoran untuk 'bos e' Semarang, sebuah indikasi kuat adanya jaringan korupsi yang melibatkan pihak-pihak berwenang.
Menurut Gatot, informasi mengenai setoran untuk 'bos e' tersebut didapatnya langsung dari Ketua Gapensi Kota Semarang, Martono. Martono, saat ditanya mengenai tujuan permintaan komitmen fee dari para pelaksana proyek, mengaku bahwa dana tersebut merupakan setoran untuk 'bos e', yang memiliki pengaruh besar di Kota Semarang dan diduga kuat terkait dengan pemberi paket pekerjaan. "Informasinya setoran untuk 'bos e' yang punya Semarang, atensi untuk pemberi paket pekerjaan," ujar Gatot menirukan pengakuan Martono dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Gatot Sarwadi.
Lebih lanjut, Gatot menjelaskan bahwa dirinya, sebagai koordinator pelaksanaan proyek penunjukan langsung di Kecamatan Candisari dan Tembalang, telah menyetorkan komitmen fee sebesar Rp303 juta kepada Martono. Hal serupa juga dilakukan oleh Hening Kirono Sidi, Ketua Bidang Perpajakan Gapensi Kota Semarang, yang bertindak sebagai koordinator untuk proyek di Kecamatan Semarang Selatan dan Gayamsari, dengan total setoran mencapai Rp290 juta. Kedua saksi sepakat bahwa pembayaran komitmen fee dilakukan sebelum penandatanganan kontrak pekerjaan.
Kedekatan Ketua Gapensi dengan Suami Mantan Wali Kota
Kesaksian Gatot juga mengungkapkan adanya kedekatan antara Ketua Gapensi Kota Semarang, Martono, dengan Alwin Basri, suami mantan Wali Kota Hevearita G. Rahayu. Kedekatan ini diduga menjadi faktor kunci dalam praktik permintaan komitmen fee tersebut. Para pelaksana proyek, menurut Gatot, meyakini akan tetap mendapatkan proyek meskipun harus membayar fee terlebih dahulu karena Martono dianggap sebagai orang kepercayaan Alwin Basri.
Hal ini menunjukkan adanya dugaan kuat bahwa sistem pemberian proyek di Kota Semarang sarat dengan praktik korupsi. Para pelaksana proyek dipaksa untuk menyetor fee sebagai syarat untuk mendapatkan proyek, dan dana tersebut diduga mengalir ke pihak-pihak berwenang, termasuk 'bos e' yang masih belum teridentifikasi secara pasti.
Perlu diteliti lebih lanjut mengenai peran Alwin Basri dalam kasus ini, mengingat kedekatannya dengan Martono dan dugaan kuatnya sebagai perantara dalam aliran dana tersebut. Investigasi menyeluruh perlu dilakukan untuk mengungkap seluruh jaringan dan aktor yang terlibat dalam praktik korupsi ini.
Total Suap dan Gratifikasi Mencapai Rp9 Miliar
Sebagai informasi tambahan, Hevearita G. Rahayu dan suaminya, Alwin Basri, didakwa menerima suap dan gratifikasi total sebesar Rp9 miliar. Dakwaan tersebut meliputi tiga perkara berbeda, menunjukkan luasnya dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kedua terdakwa. Kasus ini menjadi sorotan publik dan penegak hukum, mengingat besarnya jumlah uang yang terlibat dan dugaan keterlibatan berbagai pihak.
Proses persidangan masih berlangsung, dan diharapkan dapat mengungkap seluruh fakta dan aktor yang terlibat dalam kasus ini. Publik menantikan keadilan dan transparansi dalam proses hukum yang sedang berjalan, serta langkah-langkah pencegahan korupsi di masa mendatang.
Kesimpulan: Kesaksian dalam sidang kasus dugaan korupsi mantan Wali Kota Semarang mengungkap praktik pungutan liar dalam proyek-proyek penunjukan langsung. Dugaan keterlibatan 'bos e' dan kedekatan dengan suami mantan Wali Kota perlu diusut tuntas untuk memastikan keadilan dan mencegah praktik serupa di masa depan.