Sidang Praperadilan Kasus Pencabulan Anak di Sumbawa: Sorotan pada Prosedur Kepolisian
Sidang praperadilan kasus pencabulan anak di Sumbawa tengah berlangsung, dengan sorotan tajam pada dugaan kejanggalan prosedur penyidikan oleh pihak kepolisian.
Sidang praperadilan kasus pencabulan anak di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), tengah menjadi sorotan. Perkara yang teregister dengan nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Sbw ini mempertanyakan sah atau tidaknya penetapan MJ alias Jen Ak Syarafiah sebagai tersangka. Sidang yang dimulai pada Jumat, 11 April 2025, diawasi langsung oleh Polda NTB, dan agenda pemeriksaan saksi dijadwalkan pada Senin, 14 April 2025. Kasus ini melibatkan seorang tersangka yang diduga melakukan pencabulan terhadap anak yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya.
Polda NTB, melalui Kabid Hukum Kombes Pol. Abdul Azas Siagian, menyatakan memantau langsung jalannya persidangan. Pihaknya siap membuktikan bahwa proses penanganan kasus tersebut telah sesuai prosedur. "Kami pantau terus sidangnya dengan turun langsung ke sana," ujar Kombes Pol. Abdul Azas Siagian. Hasil praperadilan akan menentukan apakah penetapan tersangka MJ dianggap sah atau tidak, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak.
Kuasa hukum pemohon, Febriyan Anindita, mengungkapkan beberapa kejanggalan dalam prosedur penanganan kasus di kepolisian. Kejanggalan ini menjadi dasar pengajuan praperadilan. Kejanggalan tersebut meliputi Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) ganda, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ganda, serta perbedaan waktu penerbitan visum korban dan Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik). Semua ini diklaim sebagai bukti adanya penyimpangan prosedur yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Kejanggalan Prosedur Penyidikan
Salah satu poin penting yang diungkap kuasa hukum adalah adanya Sprindik ganda dengan nomor berbeda namun tanggal yang sama, yaitu 25 Januari 2025. Kedua Sprindik tersebut bernomor Sp.Sidik/45/I/2025/Reskrim dan Sprin.Dik/45/I/RES.1.4/2025/Reskrim. Selain itu, terdapat juga SPDP ganda dengan nomor dan tanggal berbeda. SPDP pertama terbit pada 31 Januari 2025, sementara SPDP kedua terbit pada 4 Maret 2025. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan mengenai kejelasan dan konsistensi proses penyidikan.
Febriyan Anindita juga menyoroti ketidakberadaan SPDP untuk Sprindik nomor Sp.Sidik/45/I/2025/Reskrim hingga saat ini. Padahal, menurut KUHAP, SPDP wajib diberikan paling lambat 7 hari setelah Sprindik diterbitkan. "Jadi, ini adalah fakta yang kami ungkapkan di persidangan," tegas Febriyan. Ketidakpatuhan terhadap aturan ini menjadi salah satu poin krusial dalam argumen hukum pemohon.
Lebih lanjut, kuasa hukum juga mempertanyakan urutan penerbitan visum korban yang lebih dulu ada dibandingkan dengan Sprinlidik. Hal ini dinilai janggal dan menimbulkan pertanyaan mengenai kronologi penanganan kasus. Selain itu, terdapat kejanggalan pada surat panggilan pertama yang menyebutkan MJ sebagai saksi, padahal dalam isi surat tersebut, MJ diminta untuk hadir sebagai tersangka. "Bagaimana cerita dalam satu surat panggilan isinya saling bertentangan," ujar Febriyan, menyoroti ketidaktegasan dan ketidakjelasan informasi dalam surat panggilan tersebut.
Kronologi Kasus dan Latar Belakang
MJ ditetapkan sebagai tersangka pada 28 Januari 2025 atas laporan aduan ibu kandung korban, RW, pada akhir Desember 2024. Kasus ini diduga melanggar Pasal 82 ayat (1) juncto Pasal 76E Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Korban memiliki hubungan keluarga dengan tersangka, di mana istri MJ merupakan anak dari istri pertama ayah kandung korban, sementara RW adalah istri keempat ayah kandung korban.
Dugaan perbuatan asusila terjadi saat korban tinggal bersama MJ dan istrinya yang belum memiliki anak. Sidang praperadilan ini diharapkan dapat mengungkap kebenaran dan memastikan apakah proses penetapan tersangka telah berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Hasilnya akan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam kasus ini.
Sidang praperadilan ini menjadi sorotan publik, terutama terkait dengan transparansi dan akuntabilitas proses penegakan hukum di Indonesia. Proses hukum yang adil dan transparan sangat penting untuk melindungi hak-hak korban dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan.